Banyak ulama’ telah mendefinisikan ilmu kalam, tetapi
defenisi tersebut masih perlu dikaji ulang untuk menentukan apakah tepat
ataukah tidak. Sebab, definisi yang salah akan membawa implikasi pada kesalahan
asumsi (tashawwur) yang lahir dari definisi tersebut. Padahal, kesalahan
asumsi akan melahirkan sikap yang salah. Sebaliknya jika asumsinya benar, akan
lahir sikap yang benar. Ini kkarena definisi merupakan usaha untuk
mendeskripsikan objek tertentu melalui sifat-sifatnya, dari aspek komprehensif (jami’)
dan protektifnya (mani’).
Ilmu Kalam Secara Etimologis
Secara etimologis, kata “ilmu kalam” berasal dari bahasa
Arab, ‘ilm al-kalam. Lafadz tersebut berbentuk tarkib idhafi, atau
susunan mudhaf (yang disandarkan) dan mudhafilayh (yang menjadi
sandaran), yaitu: ‘ilm (pengetahuan) dan al-kalam (perdebatan).
Dalam bahasa Arab, tarkib idhafi mempunyai makna menyandarkan maksud
lafadz pertama kepada lafadz kedua yang menjadi sandaran. Dalam konteks ini,
lafadz al-kalam menjadi sandaran lafadz ‘ilm, sehingga makna ‘ilm disandarkan pada al-kalam.
Lafadz ‘ilm, dalam bahasa Arab adalah ma’rifah (pengetahuan)
dan fahm (pemahaman). Lembaga bahasa Arab Mesir, mengartikan lafadz ‘ilm
sebagai akumulasi permasalahan dan dasar yang menyeluruh tentang sesuatu
pembahasan, yang dibahas dengan metode kajian tertentu, dan berkahir dengan
(lahirnya) teori dan hukum.
Al-Juwayni (w. 478 H/1086 M) menjelaskan makna lafadz ‘ilm
dengan:
“Ma’rifah al-ma’lum ‘ala ma huw bihi [pengetahuan mengenai objek yang diketahui (al-ma’lum)
melalui pengetahuan tadi seperti apa adanya]
Sedangkan lafadz al-kalam yang digunakan dalam
pembahasan ini, menurut Abu Bakar al-Razi (w. 240 H/855 M) diambil dari lafadz al-kalam
yang berarti al-jurh (cacat atau kelemahan). Pendapat yang sama juga
dikemukakan oleh al-Taftazani (w. 783 H/1391 M).
Dari analisis terhadap penjelasan al-Taftazani yang lain,
dapat disimpulkan, bahwa lafadz al-kalam dapat di-Inggris-kan dengan dialectic,
yang berarti diskusi atau perdebatan. Kata dialectic sendiri berasal
dari bahasa Yunani, yaitu dialektike, yang berarti perdebatan dengan
tujuan untuk membantah argumentasi lawan atau mengarahkan lawan pada
kontradiksi, dilema dan paradoks-paradoks.
Ilmu kalam Secara Terminologis
Secara terminologis, ilmu kalam telah banyak
didefinisikan. Jahm bin Shafwan (w. 137 H/745 M), Wasil bin ‘Ata’ (w. 140 H/748
M), al-Juwayni, al-Iji, al-Jurjani, dan lain-lain, misalnya menganggap ilmu
kalam sebagai disiplin ilmu yang membahas akidah Islam.
Al-Farabi (w. 325 H/956 M), misalnya telah mendefinisikan
ilmu kalam dengan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mempertahankan
pandangan dan sikap terpuji, yang mampu memperjelas kedudukan agama serta
menganggap palsu apa saja yang bertentangan dengannya melalui pendapat-pendapat
(al-aqawil).
Al-Iji (w. 756 H/1364), mendefinisikan ilmu kalam sebagai
ilmu yang mampu menguatkan teologi keagamaan (al-‘aqa’id al-diniyyah)
dengan menyatakan berbagai argumentasi dan menolak keraguan. Sementara Ibn
Khaldun (w. 785 H/1390 M), mendefinisikan ilmu kalam sebagai ilmu yang berisi
argumentasi teologi dan dalil-dalil rasional (‘aqliyah) serta kritik
terhadap ahli bid’ah yang melakukan penyimpangan teologis dari mazhab
salaf dan Ahlusunnah. Deskripsi seperti yang didefinisikan oleh Ibn Khaldun ini
sebenarnya telah dikemukakan oleh al-Ghazali (w. 505 H/1111 M). Definisi ini
juga disetujui oleh al-Nasysyar, profesor Filsafat Islam, Fakultas Sastra,
Universitas Alexandria.
Al-Mulla ‘Ali al-Qarri (w. 997 H/1606 M) mendfinisikan
ilmu kalam sebagai ilmu-ilmu teologi keagamaan (yang diambil) dari dalil-dalil
yang meyakinkan. Definisi ini agak mirip dengan definisi ‘Abd al-Fattan yang
menyatakan, bahwa ilmu kalam merupakan ilmu yang berfungsi menguatkan teologi
keagamaan dengan menggunakan dalil-dalil rasional.
Ulama’ lain telah menyebut kajian yang membahas akidah
Islam ini dengan istilah yang berbeda-beda. Abu Hanifah (w. 160 H/768 M),
misalnya, menggunakan istilah al-fiqh al-akbar. Al-Baghdadi (w. 429
H/1037) menggunakan istilah Ushul
al-din. Ada juga yang menggunakan istilah ‘ilm at-tawhid dan sebagainya.
Definisi yang Dipilih
Sebeleum menentukan definisi yang tepat dari berbagai
definisi di atas, nampaknya sejarah penggunaan term ilmu kalam juga diperlu
dikemukakan agar definisi yang dipilih benar-benar sesuai dengan faktanya,
sehingga imej yang diberikan melalui batasan jami’ dan mani’
tersebut benar-benar tepat. Secara historis, al-Taftazani melaporkan penggunaan
terminologi ini sebagai berikut:
“Ketahuilah, bahwa hukum syara’ ada yang
berkaitan dengan cara melakukan perbuatan [kayfiyyah al-‘amal]. Biasanya
disebut cabang perbuatan praktis [far’iyah ‘amaliyyah]. Ada juga dengan
proses membangun keimanan [kayfiyyah al-i’tiqad]. Ilmu yang pertama
disebut ‘ilm al-syari’ah wa al-ahkam [ilmu syariah dan hukum],sedangkan
yang kedua disebut ‘ilm al-tawhid wa al-sifat [ilmu tauhid dan sifat]. Jika masalah tersebut merupakan
pembahsan yang termahsyur dan bertujuan lebih mulia sedangkan untuk mengetahui
akidah dan dalil-dalilnya harus melalui kalam, karena yang menjadi pembahasannya
adalah pernyataan mereka: “al-kalam” [pendapat dan argumentasi] adalah
begini dan begini. “disamping karena masalah kalam adalah pembahasan yang
paling mahsyur dan banyak menimbulkan polemik dan perdebatan. Juga karena ilmu
kalam dapat meninggalkan pengaruh yang dapat menyatakan pendapat dan
argumentasi [kalam] untuk membuktikan argumentasi syar’i serta
mengalahkan perdebatan, seperti halnya mantik dengan filsafat. Disamping itu,
karena ia merupakan ilmu pertama yang wajib diajarkan dan dipelajari dengan
argumentasi [kalam]. Karena itu, ilmu ini dengan menggunakan istilah [al-kalam]
tersebut, kemudian tterminologi ini menjadi spesifik, dan tidak digunakan untuk
yang lain, sehingga dapat dibedakan dengan yang lain. Ini boleh terjadi akibat
berlangsungnya polemik dua arah, dan adanya mekanisme pengargumentasian [kalam]
dari kedua pihak. Disamping karena ia merupakan ilmu yang paling banyak berisi
polemik kebutuhan dan perdebatan,
sehingga kebutuhan pada argumentasi [kalam] dalam menghadapi penentangnya
sangat mendesak. Ilmu ini disebut ilmu kalam karena ia diambil dari lafadz al-kalam
berarti al-jurh [cacat atau kelemahan]. Inilah pendangan ulama’
terdahulu.
Dai uraian tentang realitas ilmu kalam di atas, baik
secara etimologis, terminologis maupun sejarah penggunaan istilahnya, dapat
disimpulkan bahwa definisi yang memenuhi syarat jami’ dan mani’ serta tidak bertentangan dengan
realitasnya adalah definisi Ibn Khaldun, yang sebelumnya juga sudah dinyatakan
oleh al-Ghazali, seperti yang dikemukakan di atas.
Dengan demikian, ilmu kalam dapat didefinisikan sebagai
pegetahuan yang berisi berbagai argumentasi mengenai akidah keimanan
berdasarkan dalil-dalil rasional, serta kritik terhadap ahli bid’ah yang
melakukan penyimpangan teologis dari mazhab Salaf dan Ahlusunnah.
Batasan yang menyatakan “pengetahuan yang berisi berbagai
argumentasi mengenai akidah” sesuai dengan fkata al-kalam yang merupakan
argumentasi dan pandangan. “pengetahuan yang berbagai argumentasi” meliputi
semua bentuk pengetahuan, baik yang diperoleh dengan cara ma’qulah (penalaran)
seperti mantik, apakah dengan teknik analogi, induksi maupun tamstil,
ataupun yang diperoleh dengan cara mahsusah (penginderaan). Inilah bentuk
deskripsi yang jami’.
Disamping itu, ini juga merupakan mani’ yang menegaskan ilmu kalam sebagai ilmu yang
membahas akidah itu sendiri. Padahal faktanya membuktikan, bahwa ilmu kalam
hanyalah pengetahuan yang membahas argumentasi, bahkan sangat jauh dari pembahasan
akidah.
Batasan “argumentasi mengenai akidah (al-hujaj ‘an-al-‘aqidah)”
dan bukan argumentasi teologis (hujaj al-‘aqidah) berarti argumentasi
yang digunakan dalam masalah tersebut tidak harus berupa argumentasi teologis
yang qath’iy, tetapi kadangkala berbentuk zhanni dan qath’iy. Batasan tersebut juga
meliputi ‘aqli dan naqli. Dengan
demikian, deskripsi ini menjadi jami’
karena meliputi semua bentuk argumentasi baik yang berbentuk zhanni maupun qath’iy serta aqli dan naqli. Adapun batasan mengenai
akidah dapat dianggap sebagai mani’ yang menafikan berbagai argumentasi lain,
selain akidah, seperti masalah cabang aktivitas praktis atau hukum syara’.
Batasan dengan dalil-dalil rasional memberikan gambaran,
bahwa akallah yang menjadi standar untuk menentukan, termasuk terhadap
dalil-dalil naqli, seperti al-Qur’an dan al-Sunnah. Dengan kata lain,
dalil-dalil naqli tersebut digunakan untuk membenarkan pendapat atau
argumentasi (al-kalam) yang ada, baik untuk ditolak atau diperhatikan.
Inilah definisi yang tepat sesuai fakta dengan ilmu
kalam. Definisi ini juga mampu memberikan gambaran mengenai realitas ilmu
kalam. Adapun definisi lain menyatakan, bahwa ilmu kalam merupaka pengetahuan
yang dapat mengutakan teologi keagamaan melalui dalil-dalil rasional adalah
definisi yang tidak tepat.
Ketidaktepatannya, namapak antara lain:
Pertama: dari aspek kekontradiksiannya dengan fakta
ilmu kalam, yang diklaim dapat menguatkan teologi keagamaan, padahal justru
sebaliknya. Ini karena ilmu kalam tidak membahas akidah, namun hanya membahas
berbagai argumentasi mengenai akidah, sedangkan argumentasi tadi dibangun
dengan dalil-dalil spekulasi (adillah zhanniyyah), baik dari aspek
sumber ataupun maknanya. Seterusnya, ia digunakan untuk menjustifikasikan
kesimpulan-kesimpulan yang ada. Contohnya, al-Asy’ari (w. 324 H/932 M), ketika
membantah pandangan Mu’tazilah mengenai ketidakmampuan melihat Allah, baik di
dunia saja maupun di dunia dan akhirat, jelas telah mengkontradiksikan antara
argumentasi yang qath’iy seperti surat al-An’am (06): 103, dengan
argumentasi memungkinkan berdasarkan permintaan Nabi Musa as, agar
diperkenankan melihat Allah. Akhirnya, pandangan al-Asy’ari mengenai melihat
Allah tersebut dikaburkan oleh argumentasi kemungkinannya berdasarkan kasus
Nabi Musa as.
Kedua: dari aspek ketidaklengkapannya dalam
memberikan deskripsi terhadap realitas yang didefinisikan. Ini karena persoalan
terpenting yang menjadi ilmu tersebut disebut ilmu kalam justru karena ia
membahas argumentasi mengenai akidah dan bantahan-bantahannya, serta penyusunan
argumentasi dan bantahan-bantahan tersebut secara rasional. Sementara definisi
di atas sama sekali tidak mendeskripsikan aspek ini.
Sumber Buku: Pengaruh Filsafat & Ilmu Kalam Terhadap
Kemunduran Dunia Islam, Al Azhar Freshzone Publishing, 2015. Cetakan I Rabiul
Awwal 1437 H/ Januari 2016 M.
0 Response to "DEFINISI ILMU KALAM SECARA ETIMOLOGIS DAN TERMINOLOGIS"
Post a Comment