Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
melanggar syi'ar-syi'ar Allah[389], dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan
haram[390], jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya[391], dan
binatang-binatang qalaa-id[392], dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang
mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari
Tuhannya[393] dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah
berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena
mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya
(kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (QS al-Maidah [5]: 2)
[389] Syi'ar Allah Ialah: segala amalan yang
dilakukan dalam rangka ibadat haji dan tempat-tempat mengerjakannya.
[390] Maksudnya antara lain Ialah: bulan Haram
(bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah Haram (Mekah) dan
Ihram., Maksudnya Ialah: dilarang melakukan peperangan di bulan-bulan itu.
[391] Ialah: binatang (unta, lembu, kambing,
biri-biri) yang dibawa ke ka'bah untuk mendekatkan diri kepada Allah,
disembelih ditanah Haram dan dagingnya dihadiahkan kepada fakir miskin dalam
rangka ibadat haji.
[392] Ialah: binatang had-ya yang diberi
kalung, supaya diketahui orang bahwa binatang itu telah diperuntukkan untuk
dibawa ke Ka'bah.
[393] Dimaksud dengan karunia Ialah:
Keuntungan yang diberikan Allah dalam perniagaan. keredhaan dari Allah Ialah:
pahala amalan haji.
Kandungan ayat ini masih terkait erat dengan ayat
sebelumnya. Dalam ayat sebelumnya, kaum Muslim diperintahkan untuk memenuhi
semua akad mereka. Juga diberitakan tentang halalnya binatang ternak kecuali
yang akan dibacakan. Aktivitas berburu yang mubah, diharamkan ketika sedang
mengerjakan haji. Kemudian dalam ayat ini dilanjutkan dengan penjelasan
beberapa hukum seputar haji.
Tafsir Ayat
Allah Swt berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
melanggar syi'ar-syi'ar Allah.
Khitab atau seruan ayat ini ditujukan kepada kaum
Mukmin. Mereka diserukan agar tidak melanggar Sya’iral-Lah. Kata Sya’air
merupakan bentuk jamak dari kata Sya’irah yang bermakna Muf’ilah.
Kata al-musy’irah bermakna al-mu’limah (yang memberitahukan); dan al-isy’ar
berarti al-i’lam
(pemberitahuan). Oleh karena itu, segala sesuatu yang dijadikan sebagai
pemberitahuan atas sesuatu yang lain, dapat disebut sebagai sya’irah.
Terdapat perbedaan pendapat di antara para mufassir
mengenai makna sya’iral-Lah. Ada
yang memahami kata tersebut hanya menyangkut taklif khusus. Yakni syi’ar dalam
manasik haji, seperti thawaf, sa’i, antara shafa dan marwah, wuquf di Arafah,
melempar jumrah, dan lain-lain. Terhadap semua syiar haji tersebut, kaum Muslim
diilarang meninggalkan atau mengganti dengan aktivitas lainnya. Di antara yang
berpendapat demikian adalah : Ibnu Abbas dalam suatu riwayat, Mujahid,
al-Samarqandi, dan al-Baidhawi.
Ada pula yang memaknai secara umum, mencakup semua
syiar-syiar Allah. Atha’ bin Abi Rubah mengatakan, Sya’airal-Lah adalah semua yang diperintahkan dan yang di
larang. Al-Hasan menafsirkannya sebagai dinul-Lah. Ibnu Jarir al-Tabhari
dan Ibnu ‘Athiyah juga berpendapat
demikian. Penafsiran tersebut memberikan pengertian, kaum Muslim
dilarang melanggar semua batas-batas yang berasal dari-Nya. Tampaknya, pendapat
pendapat ini lebih dapat diterima. Sebab, kata tersebut bersifat umum dan tidak
terbatas pada syiar-syiar tertentu. Karena tidak ada dalil yang
mengkhususkannya, maka tetap dalam keumumannya. Pengertian tersebut juga dapat
dijumpai dalam firman Allah Swt:
Demikianlah (perintah Allah). dan Barangsiapa
mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah[990], Maka Sesungguhnya itu timbul dari
Ketakwaan hati.(QS al-Hajj [22]: 32)
[990] Syi'ar Allah Ialah: segala amalan yang
dilakukan dalam rangka ibadat haji dan tempat-tempat mengerjakannya.
Kemudian Allah Swt berfirman:
Dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan
haram
Penjelasan mengenai bulan haram terdapat dalam beberapa
ayat dan hadits. Dalam QS at-Taubah [9]: 36 disebutkan bahwa bilangan bulan di
sisi Allah ada dua belas, empat diantaranya adalah bulan haram. Empat bulan
tersebut adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Kata al-syahr al-haram dalam kata tersebut li
al-jins (bermakna jenis) sehingga mencakup semua bulan haram. Frasa Wa
la al-syahr al-haram disini memberikan makna: Jangan pula kalian
menganggap halal berperang pada bulan haram. Larangan tersebut itu juga
terdapat dalam beberapa ayat lain, seperti QS al-Baqarah [2]: 194 dan 217. Akan
tetapi menurut jumhur al-mufassirin ketentuan itu telah mansukh
(dinasakh) dengan firman Allah Swt:
Apabila sudah habis bulan-bulan Haram
itu[630], Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai
mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat
pengintaian. jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat,
Maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan[631]. Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS at-Taubah [9]: 5)
[630] Yang dimaksud dengan bulan Haram disini
Ialah: masa 4 bulan yang diberi tangguh kepada kamu musyrikin itu, Yaitu mulai
tanggal 10 Zulhijjah (hari turunnya ayat ini) sampai dengan 10 Rabi'ul akhir.
[631] Maksudnya: terjamin keamanan mereka.
Disebutkan pula dalam firman-Nya kemudian:
jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan
binatang-binatang qalaa-id
Menurut Ibnu ‘Athiyah, tidak ada perbedaan pendapat
mengenai makna al-hadyu. Bahwa al-hadyu adalah binatang ternak yang diserahkan ke
Baitullah, baik berupa unta, sapi, atau kambing. Sedangkan kata al-qalaid merupakan bentuk jamak dari al-qiladah
yang berarti kalung. Akan tetapi yang dimaksudkan adalah binatang-binatang yang
hendak dikurbankan dana ditandai dengan kalung. Penyebutan tersebut terkategori
sebagai athf al-khashsh ‘ala al-‘amm (menambahkan yang khusus atas yang
umum) disebabkan kemuliaan dan keutamaannya. Semua binatang tersebut tidak
boleh diganggu dan dirampas.
Kemudian disebutkan juga:
dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang
mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya.
Kata ammin dalam frasa ini bermakna qashdin.
Artinya, orang-orang yang bermaksud mengunjungi Baitullah.
Dijelaskan oleh sebagian mufassir, mereka yang dimaksud
adalah kaum Musyrik yang mengunjungi baitul Haram. Jika demikian, apa maksud fadh[an]
min Rabbihim wa ridhwan[an] yang mereka cari itu? Kata fadh[an] disni
berarti keuntungan material yang diperoleh dalam perdagangan yang mubah. Bahkan
menurut Ibnu ‘Athiyah, ini adalah pendapat jumhur mufassirin. Kebolehan mencari
karunia Allah Swt pada saat menunaikan haji juga disebutkan dalam QS al-Baqarah
[2]: 198. Sedangkan ridhwan keridhaan
di sini bisa dimaknai pahala. Patut di catat, keinginan terhadap sesuatu tidak
menunjukkan teriahnya sesuatu itu. Oelh karena itu, meskipun orang musyrik
menginginkannya, namun mereka tidak akan mendapatkannya. Lebih dari itu, semua
amal mereka terhapus, dicampakkan kedalam neraka, dan diharamkan surga baginya.
Kendati begitu, kaum Muslim dilarang mengganggu mereka ketika hendak
melaksanakan haji selama masih mencari dua perkara itu. Namun jika mereka telah
melakukankejahatan, harus dicegah (lihat QS al-Hajj [22]: 25). Sehingga, ketika
ayat itu turun, orang-orang Musyrik masih dibiarkan melaksanakan haji.
Sebagaimana di tuturkan al-Razi, menurut jumhur mufassirin, seperti Ibnu
‘Abbas, Mujahid, al-Hasan, dan Qatadah ketentuan tersebut kemudian di nasakh
dengan firman Allah Swt:
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya
orang-orang yang musyrik itu najis[634], Maka janganlah mereka mendekati
Masjidilharam[635] sesudah tahun ini[636]. dan jika kamu khawatir menjadi
miskin[637], Maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karuniaNya,
jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS at-Taubah [9]: 28)
[634] Maksudnya: jiwa musyrikin itu dianggap
kotor, karena menyekutukan Allah.
[635] Maksudnya: tidak dibenarkan mengerjakan
haji dan umrah. menurut Pendapat sebagian mufassirin yang lain, ialah kaum
musyrikin itu tidak boleh masuk daerah Haram baik untuk keperluan haji dan
umrah atau untuk keperluan yang lain.
[636] Maksudnya setelah tahun 9 Hijrah.
[637] Karena tidak membenarkan orang musyrikin
mengerjakan haji dan umrah, karena pencaharian orang-orang Muslim boleh Jadi
berkurang.
Kemudian Allah Swt berfirman:
Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah
haji, Maka bolehlah berburu.
Perintah berburu sesudah dilaksanakannya ihram itu
berhukum mubah. Kesimpulan ini didasarkan pada fakta bahwa hukum asal berburu
adalah mubah. Aktivitas tersebut berubah menjadi haram bagi orang yang sedang
menunaikan haji (lihat QS al-Maidah [5]: 1). Maka setelah haji ditunaikan,
kembali hukum asalnya, yakni mubah.
Allah Swt berfirman:
Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada
sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam,
mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka).
Kata al-syanan bermakna syiddah al-bughd (kebencian
yang sangat). Di tegaskan dalam ayat ini, kaum Mukmin dilarang berbuat aniaya
kepada kaum yang mereka benci karena telah menghalangi mereka ke Baitullah.
Menurut al-Samarqandi, kata an ta’tadu disini berarti melampaui batas
dalam pembalasan.
Perintah itu kemudian ditegaskan dengan firman-Nya:
Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa.
Dijelaskan al-Jazairi, al-birr adalah setiap
ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan al-taqwa mengerjakan
semua yang diperintahkan dan meninggalkan semua yang dilarang. Namun menurut
Ibnu ‘Athiyah, kedua kata tersebut memiliki satu makna. Pengulangan dengan
lafazh yang berbeda itu untuk mengukuhkan dan melebihkan (li al-ta’kid wa
al-mubalaghah). Sebab, setiap birr adalah taqwa, dan setiap taqwa
adalah birr. Dalam perkara tersebut umat Islam diperintahkan saling
bantu satu sama lain.
Allah Swt berfirman:
Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa
dan pelanggaran.
Dijelaskan al-Jazairi, al-itsm menunjuk semua dosa
(sair al dzunub). Sedangkan al-udwan berarti kezaliman dan
melampaui batas. Abu Hayyan al-Andalusi memaknai al-itsm dengan al-ma’ashi
(kemaksiatan-kemaksiatan) dan al-udwan berarti melampaui batas-batas
Allah. Penyebutan dua kata itu secara bersamaan juga terdapat dalam QS
al-Baqarah [2]: 85; al-Maidah [5]: 62, al-Mujadilah [58]: 8, dan 9. Terhadap
perbuatan-perbuatan terlarang tersebut kaum Muslim dilarang bekerjasama dan tolong-menolong.
Allah menutup ayat ini dengan firman-Nya:
Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
Perintah untuk bertakwa itu meliputi semua perkara, tidak
sebatas perkara yang telah disebutkan. Ancaman siksa yang pedih itu menunjukkan
bahwa perintah tersebut berhukum wajib.
Istiqomah Dalam Ketaatan
Terdapat banyak pelarajaran yang dapat dipetik dalam ayat
ini. Di antaranya adalah: Pertama, perintah menjalankan ketaatan
terhadap semua hukum yang ditetapkan Allah Swt. Kata la tastahillu
memberikan pengertian yang demikian. Bahwa kaum Muslim dilarang melanggar,
merubah, dan mengganti semua ketentuan hukum yang telah ditetapkan-Nya. Tidak
ada pilihan bagi manusia kecuali tunduk dan patuh terhadapnya.
Dalam beberapa hukum memang ada perubahan dan penghapusan
hukum (nasakh). Namun harus ditegaskan bahwa yang berhak melakukannya
adalah Allah Swt, Al-musyarri’ al-wahdah (pembuat syariah satu-satunya).
Dialah yang berhak menghalalkan atau mengharamkan segala sesuatu. Adanya
perubahan beberapa hukum itu sekaligus menguji sejauh mana ketaatan manusia
terhadap hukum yang ditetapkan (perhatikan QS al-Maidah [5]: 48).
Kedua, ketaatan itu harus selalu dijaga
kemurniaannya karena Allah Swt. Dalam menjalankan ketaatan, tidak boleh
bercampur dengan hawa nafsu. Semua sikap dan keputusan yang diambil harus bebas
dari pengaruhnya. Larangan berbuat aniaya terhadap kaum yang dibenci jelas
menunjukkan perintah tersebut.
Tindakan menghalangi manusia ke Baitullah jelas perbuatan
tercela. Pelakunya pun layak dibenci karena perilakunya. Namun demikian, kaum
Muslim tidak boleh kehilangan kendali. Ketentuan syara’ tetap harus dijadikan
patokan. Kebencian terhadap mereka tidak
boleh dijadikan sebagai alasan untuuk berbuat aniaya terhadap mereka. Kalaupun
harus memberikan balasan, maka balasan itu harus setimpal dengan perbuatannya
(lihat QS an-Nahl [16]: 126).
Allah Swt berfirman:
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang
memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS al-Baqarah [2]: 190)
Ketiga, perintah saling bantu dalam mengerjakan
ketaatan. Dalam kehidupannya, manusia tidak bisa hidup sendiri. Mereka saling
membutuhkan antara satu dengan yang lain. Maka tolong-menolong dan kerjasama
menjadi keniscayaan bagi manusia pun demikian dalam menjalankan ketaatan kepada
Allah Swt. Hampir semua kewajiban syariah memerlukan kerjasama dan
tolong-menolong. Aktivitas jihad, dakwah, memberantas kemungkaran, dan
semacamnya mutlak diperlukan kerjasama dan tolong-menolong. Bahkan aktivitas
ibadah yang tampaknya dikerjakan sendirian pun seperti, shalat tetap
membutuhkan kerjasama. Sebagai gambaran, untuk bia mengerjakan shalat, jelas
memerlukan pakaian yang menutup aurat, tempat yang suci, air yang suci dan
mensucikan, pengetahuan arah kiblat, ketepatan waktu dan lain-lain. Semua itu
akan jauh lebih mudah dilakukan jika ada al-ta’awun (kerjasama) di
antara kaum Muslim. Hal yang sama juga terjadi pada zakat, puasa, haji, dan
ibadah-ibadah lainnya. Karena ta’awun dalam ketaatan termasuk aktivitas
yang diperintahkan, maka semua pihak yang turut memiliki andil didalamnya juga
berhak mendapatkan pahala dari-Nya. Terus mengalirnya paala dari shadaqah
jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shalih yang mendoakan orang
tuanya, sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih, merupakan salah satu
contohnya.
Harus diingat, kerjasama yang diperintahkan itu hanya
berlaku pada kegiatan ketaatan saja. Sebaliknya , perbuatan dosa dan maksiat,
dilarang untuk dikerjakan. Siapapun yang terlibat dalam kerjasama tersebut,
berhak mendapatkan dosa. Berkaitan
dengan hal ini, ada beberapa dalil yang menunjukkan kesimpulan demikian.
Diantaranya adalah hadits Nabi saw:
Barangsiapa membantu pembunuhan seorang
Mukmin, walaupun dengan setengah kata, maka dia akan bertemu Allah dengan
tertulis diantara kedua matanya: “Yang berputus asa dari rahmat Allah.” (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
Demikianlah, siapa pun yang menginginkan kebahagiaan di
dunia dan akhirat, wajib baginya mengerjakan ketaatan kepada Allah Swt,
memelihara kemurnian taat karena-Nya, dan saling membantu dan mendukung dalam
melakukan ketaatan. Wal-Lah a’lam bi al-shawab.
Sumber Buku: Tafsir Ayat Pilihan Al Wa’ie. Al Azhar Fresh
Zone Publishing. Cetakan 1, Rabiul Awal 1434/ Januari 2013
0 Response to "MEMELIHARA DAN MENGOKOHKAN KETAATAN (Tafsir QS al-Maidah [5]: 2)"
Post a Comment