"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa", (QS al-Baqarah [2]: 183)
Dalam beberapa ayat sebelumnya dijelaskan mengenai
sejumlah kewajiban yang dibebankan kepada kaum Mukmin. Dalam ayat 178
disebutkan wajibnya hukuman qishash kepada pelaku pembunuhan. Hukuman
itu bisa saja tidak dijatuhkan apabila mendapatkan pemaafan dari keluarga
korban dan membayar diyat. Di tegaskan dalam ayat selanjutnya, bahwa di dalam
hukuman qishash itu justru ada kehidupan.
Tiga ayat berikutnya berbicara tentang wasiat. Kepada
orang yang sedang mendekati ajal diwajibkan membuat wasiat atas harta yang
ditinggalkan kepada bapak-ibu dan kerabatnya (ayat 180). Siapapun yang berani
mengubah wasiat yang telah dibuat itu diancam dengan dosa ayat (181). Tidak ada
dosa bagi orang yang khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat
sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka (ayat 182).
Setelah itu dalam ayat ini hingga ayat 187, kecuali ayat 186 menerangkan
seputar kewajiban puasa.
Tafsir Ayat
Allah Swt berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu
Seruan ayat ini ditujukan kepada kaum Mukmin. Seruan
kepada kaum Mukmin dalam ayat ini dan ayat-ayat lainnya mengandung isyarat
bahwa pensifatan iman mewajibkan pelakunya untuk mematuhi, mengikuti, dan
mendengarkan perintah maupun larangan yang hendak disampaikan dalam kalimat
berikutnya.
Disebutkan dalam ayat ini, orang-orang yang beriman itu
diwajibkan untuk berpuasa. Sebagaimana dijelaskan banyak mufassir, seperti Ibnu
Jarir al-Thabhari, Ibnu ‘Athiyah, al-Khazin, dan al-Biqa’i kata kutiba
‘alaykum disini bermakna furidha ‘alaykum (difardhukan atas kalian).
Bahkan menurut al-Farra’ semua frasa kutiba ‘alaykum dalam al-Qur’an bermakna furidha ‘alaykum (difardhukan
kepadamu). Selain puasa, kata kutiba
‘ala juga digunakan untuk beberapa kewajiban lainnya. Dalam QS
al-Baqarah[2]: 178 dinyatakan: kutiba ‘alaykum al-qishash. Frasa kutiba
‘alaykum juga dibebankan kepada orang mendekati ajal untuk memberikan
wasiat kepada orang tua dan kaum kerabat (lihat QS al-Baqarah [2]: 180). Patut
dicatat, kewajiban memberikan wasiat tersebut akhirnya dinsakh dengan ayat-ayat
tentang waris yang menjelaskan bagian-bagian yang diterima ahli waris. Dalam QS
al-Baqarah [2]: 216 Allah juga berfirman : kutiba ‘alaykum al-qital.
Semua frasa kutiba ‘alaykum dalam ayat-ayat tersebut memberikan makna furidha
‘alaykum.
Disamping frasa kutiba ‘alaykum, wajibnya berpuasa
juga didasarkan qarinah (indikasi) yang terdapat pada ayat selanjutnya.
Bahwa orang-orang yang sakit atau bepergian diizinkan untuk tidak berpuasa.
Namun demikian, mereka wajib mengganti atau mengqadhanya di hari yang lainnya.
Kewajiban mengqadha puasa di hari yang lain ini menunjukkan hukum berpuasa
adalah wajib. ‘Atha bin Khalil menyatakan bahwa setiap seruan yang di dalamnya
terdapat ucapan atau perbuatan yang mengharuskan terus dikerjakan kecuali ada
udzur, lalu di berikan rukshah, qadha’ atau maaf merupakan salah satu qarinah
bagi jazm (ketegasan dan kepastian)-Nya sebuah seruan.
Disamping ayat, kewajiban pasa Ramadhan juga diterangkan
dalam banyak hadits. Dianatranya adalah:
“Islam dibangun atas lima perkara: Syahadat
bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah kecuali Allah dan Muhammad utusan
Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, haji, dan puasa Ramadhan”. (HR al-Bukhari)
Secara bahasa, kata al-shiyam berarti al-imsak (menahan
diri) dari mengerjakan sesuatu, baik makan, berbicara, maupun berjalan. Makna
bahasa ini sebagaimana terdapat dalam firman Allah Swt:
“Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa
untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang
manusia pun pada hari ini”. (QS Maryam [19]: 26)
Dalam ayat tersebut, kata shawm[an] berarti
menahan diri dari berbicara. Sedangkan secara syar’i al-shiyam berarti
menahan diri dari makan, minum, dan jima’ sejak terbitnya fajar hingga
terbenamnya matahari yang disertai dengan niat. Pengertian ini diambil dari
beberapa dalil dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Berkaitan dengan larangan makan,
minum, dan jima’ disebutkan dalam firman Allah Swt:
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan
puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan
kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak
dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
(datang) malam”.(QS al-Baqarah [2]: 187).
Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa kaum Muslim
diperbolehkan melakukan hubungan suami-isteri dimalam hari pada bulan puasa.
Itu artinya, mereka dilarang melakukannya di
siang harinya. Dalam hal makan dan minum, kaum Muslim juga dipersilahkan
untuk mengerjakannya di malam hari. Batasnya hingga terbit fajar. Tatkala fajar
telah terbit, kaum Muslim diperintahkan untuk berpuasa hingga malam, yakni
hingga matahari terbenam.
Berkaitan dengan adanya niat untuk melakukan puasa, hal
ini didasarkan pada hadits dari Umar bin al-Khaththab, dia mendengar Rasulullah
bersabda:
“Sesungguhnya amal perbuatan itu bergantung
pada niat, dan sesungguhnya semua perkara tergantung pada niatnya”. (Bukhari, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari Umar
bin).
Berdasarkan hadits ini, sebuah amal puasa bisa dinyatakan
absah, jika disertai niat oleh pelakunya untuk berpuasa. Apabila tidak
dilandasi dengan niat berpuasa, maka amal perbuatannya tidak dikategorikan
sebagai puasa, sekalipun secara dhahir amalnya sama atau menyerupai puasa. Imam
an-Nawawi menyatakan, disyariahkannya niat untuk membedakan antara ‘adah (perbuatan
biasa) dan ibadah, atau ibadah satu dengan ibadah lainnya. Beliau mencontohkan
perbuatan orang yang duduk di dalam masjid. Perbuatan tersebut bisa diniatkan
untuk istirahat sebagai perbuatan biasa, bisa pula dilakukan dengan ibadah
dengan niat i’tikaf. Yang menjadi pembeda antara keduanya (ibadah dengan
perbuatan biasa itu) adalah niat.
Khusus untuk puasa wajib, niat berpuasa harus dilakukan
sebelum terbitnya fajar. Diriwayatkan dari Khafshah ra, dari Rasulullah saw
bersabda:
“Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum
fajar, maka tidak [sah] puasa baginya”. (HR Abu Daud dan al-Tirmidzi).
Hadits ini menjadi dalil wajibnya niat pada malam
menjelang puasa. Dengan kata lain, niat puasa itu harus dilakukan pada malam
hari, waktunya mulai maghrib. Sementara pada puasa sunnah, diperbolehkan niat
setelah fajar. Hal ini didasarkan pada hadits dari Aisyah ra yang menceritakan
bahwa:
“Pada suatu hari Rasulullah saw masuk
ketempatnya seraya bertanya, “Apakah engkau memiliki sesuatu (untuk di
makan)?”. Aisyah menjawab, “Tidak”. Kemudian beliau bersabda, “Kalau begitu
saya berpuasa””. (HR Bukhari)
Fi’iliyyah Rasulullah saw ini menjadi dalil bolehnya
niat berpuasa sunnah yang dilakukan pada siang hari asalkan belum makan atau
minum.
Selanjutnya Allah Swt berfirman:
”Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu”.
Ibnu Abbas menyatakan mereka adalah Ahli Kitab.
Al-Zamakhsyari, al-Alusi, dan al-Baidhawi berpendapat, umat yang terdahulu itu
mulai Nabi Adam hingga umat ini. Menurut Abdurrahman al-Sa’di pemberitaan itu
berguna untuk menggairahkan semangat umat ini. “Hendaklah kalian berlomba
dengan umat lain dalam menyempurnakan amal dan bersegera dalam memperbaiki
perilaku, dan perkara itu bukan perkara yang berat”.
Terkadang perbedaan pendapat mengenai tasybih (penyerupaan)
puasa yang diwajibkan umat terdahulu. Ada yang mengatakan keserupaan puasa itu
dalam segi waktu dan ukurannya. Pendapat lainnya menyatakan, keserupaan itu
dalam segi kewajiban puasanya saja. Tampaknya pendapat yang kedua itu lebih
dapat diterima karena kesamaan kewajiban tidak mengharuskan adanya kesamaan kayfiyyah.
Bahkan, dalam syariah masing-masing Rasul diberikan kayfiyyah sendiri-sendiri.
Hal ini secara umum diberitakan Allah Swt dalam firmannya:
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami
berikan aturan dan jalan yang terang”. (QS al-Maidah [5]: 48)
Selanjtunya Allah Swt berfirman:
“Agar kamu bertakwa”
Diakhir hayat ini dijelaskan bahwa hikmah diwajibkannya
puasa adalah agar pelakunya menjadi orang-orang yang bertakwa Abdurrahman
al-Sa’di menyatkan bahwa puasa adalah sarana paling besar untuk bertakwa.
Kata taqwa berasal dari kata waqa yang
berarti melindungi. Kata tersebut kemudian digunakan untuk menunjuk pada sikap
dan tindakan untuk melindungi diri dari murka dan azab Allah Swt. Caranya, dengan
menjalankan perintah Allah Swt dan menjauhi larangan-Nya. Inilah pengertian
takwa.
Dalam ayat selanjutnya dijelaskan bahwa kewajiban puasa
itu dibebankan untuk beberapa hari (ayat 184). Hari-hari yang diwajibkan
berpuasa itu adalah seluruh hari dibulan Ramadhan. Pada bulan yang diturunkan
al-Qur’an itu, siapa pun yang tidak ada uzur diwajibkan berpuasa (ayat 185).
Meraih Takwa dengan Berpuasa
Diantara perkara penting yang dijelaskan ayat ini adalah:
hikmah yang didapat tatkala puasa dikerjakan. Menurut ayat ini, puasa dapat
membuat pelakunya memiliki sikap takwa. Yakni kesediaan untuk taat dan tunduk
terhadap segala perintah dan larangan Allah Swt.
Jika dicermati, ibadah puasa memang dapat mengantarkan
pelakunya meraih takwa. Dengan catatan, puasa itu dipahami dan dilaksanakan
dengan benar. Dalam berpuasa, seseorang dilatih untuk mengingat Allah dalam
setiap ruang dan waktu. Ketika menjalankan puasa, seseorang diingatkan bahwa
tidak ada tempat yang tersembunyi dari penglihatan dan pendengaran Allah Swt.
Sehingga, di mana pun dia berada, tidak berani makan nasi, walaupun hanya
sesuap; minum air meskipun hanya seteguk; berhubungan intim dengan istinya
kendati berada didalam ruang tertutup. Apabila keyakinan itu diimplementasikan
tidak hanya dalam puasa, namun juga seluruh aktifitas kehidupan, niscaya akan
menghasilkan pribadi-pribadi yang bertakwa. Yakni pribadi yang selalu patuh dan
taat terhadap perintah dan larangn-Nya, di mana pun dan kapan pun berada.
Puasa juga melatih manusia untuk mengendalikan hawa
nafsu. Benar bahwa manusia membutuhkan makan, minum, atau lawan jenis. Namun
hal itu tidak boleh jadi alasan manusia untuk mengumbar hawa nafusnya sesuka
seperti binatang. Manusia hanya diperbolehkan mengkonsumsi makanan atau minuman
yang halal. Demikian pula dengan hubungan lawan jenis. Manusia hanya diizinkan
melampiaskannya pada orang yang pasangan yang dihalalkan. Orang yang mampu
berpuasa berarti telah berhasil mengendalikan hawa nafsunya itu.
Dengan puasa, manusia dilatih untuk hidup berdisiplin
dengan syariah-Nya. Sekalipun haus dan lapar, manusia harus tetap menahannya untuk
tidak minum atau makan hingga tiba waktu maghrib. Sekalipun hasrat seksualnya
sedang menggebu, manusia harus tetap mampu meredamnya hingga waktu yang
diperbolehkan untuk melakukannya. Jika itu berhasil dikerjakan, jalan untuk
menjadi pribadi takwa lebih mudah dicapai. Betapa tidak. Jika dalam puasa dia
mampu menahan haus dan lapar dari makanan yang dibulan lain dihalalkan, maka
selayaknya dia lebih mampu menahan diri dari makan atau minum dari harta yang
diharamkan. Jika seseorang mampu menahan diri dari tidak menggauli istrinya
disiang hari, sepatutnya dia lebih mampu menahan diri untuk melakukan perbuatan
zina. Oleh karena itu, tidak aneh jika orang yang belum mampu menikah
diperintahkan untuk berpuasa. Rasulullah saw bersabda:
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara
kalian yang telah mampu menanggung beban, hendaklah ia menikah. Sebab,
pernikahan itu lebih bisa menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan.
Barangsiapa yang belum mampu menikah, hendaklah dia berpuasa, karena
sesungguhnya puasa adalah perisai baginya”. (HR al-Bukhari, Muslim, dari Abdullah ra)
Walhasil , apabila dipahami dan dikerjakan secara
benar-benar, puasa akan mengantarkan pelakunya menjadi pribadi yang bertakwa.
Bukan hanya puasa, semua aktivitas ibadah kepada Allah Swt jika dipahami dan
dilaksanakan dengan benar akan berbuah takwa. Allah Swt berfirman:
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah
menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa”. (QS al-Baqarah [2]: 21)
Kita bermohon kepada Allah Swt semoga puasa dan semua
ibadah dapat mengantarkan kita menjadi pribadi takwa; yang disediakan baginya
surga yang luasnya seluas langit dan bumi.
WaLlah a’lam bi al-shawab.
Sumber Buku: Tafsir Ayat Pilihan Al Wa’ie. Al Azhar Fresh
Zone Publishing. Cetakan 1, Rabiul Awal 1434/ Januari 2013
0 Response to "KEWAJIBAN PUASA DAN TAKWA (Tafsir QS al-Baqarah [2]: 183)"
Post a Comment