KEWAJIBAN BERJILBAB (Tafsir QS al-Ahzab: 59)

Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[1232] ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS al-Ahzab: 59)
[1232] Jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.

Dari segi konteks pembicaraan, ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya. Jika dalam ayat sebelumnya, Allah Swt melarang tindakan menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat dan menyebut pelakunya telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata (QS. Al-Ahzab [33]: 58), ayat ini memerintahkan kepada kaum mukminat (perempuan) untuk menjaga diri dari perbuatan yang dapat mengundang orang lain menyakiti mereka dengan jalan menutup auratnya dengan jilbab.

Sebab Nuzul (Turunnya Ayat)
Dikemukakan Sa’id bin Manshur, Sa’ad, Abd bin Humaid, Ibnu Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abi Malik: “Dulu isteri-isteri Rasulullah saw keluar rumah untuk keperluan buang hajat. Pada waktu itu orang-orang munafik mengganggu dan menyakiti mereka. Ketika mereka ditegur, mereka menjawab: “Kami hanya mengganggu hamba sahaya saja.” Maka turunlah ayat ini: Ya ayyuha al-Nabiyy qul li azwajika wa banatika wa nisa’i al-mu’min yudnina ‘alayhinna min  jalabibihinna... Allah memerintahkan mereka mengenakan jilbab supaya berbeda dengan hamba sahaya.

Tafsir Ayat
Allah swt berfirman:

Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka".

Khitab atau seruan ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw. Beliau di perintahkan untuk menyampaikan suatu ketentuan hukum terhadap para wanita muslimah.

Seruan diawali kepada para wanita yang paling dekat dengan beliau, yakni isteri-isteri dan anak-anak perempuan beliau (li azwajika wa banatika). Setelah itu baru kepada seluruh wanita mukminah: nisa’i al-mu’min (isteri-isteri orang mukmin). Ketentuan yang dibebankan kepada para wanita mukminah itu adalah:
š

Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka

Kataا لجلا بيب  merupakan bentuk jamak dari kata ا لجلبا ب . terdapat beberapa pengertian yang diberikan para ulama mengenai kata jilbab. Ibnu Abbas menafsirkannya sebagai al-rida’ (mantel) yang menutui dari atas hingga bawah. Al-Qasimi menggambarkan, al-rida’ itu seperti al-sirdab (terowongan). Sedangkan menurut al-Qurtubhi, Ibnu al-‘Arabi, dan an-Nasafi jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh. Ada juga yang mengartikannya sebagai milhafah (baju kurung yang longgar dan tidak tipis) dan semua yang menutupi, baik berupa pakaian maupun lainnya. Dan sebagian lainnya memahaminya sebagai mula’ah (baju kurung) yang menutupi wanita atau  al-qamish (baju gamis)

Dari berbagai penjelasan yang dikemukakan para ulama itu, jilbab dapat dipahami sebagai pakaian longgar yang menutupi pakaian yang biasa dkenakan wanita dalam keseharian. Bentuknya seperti al-sirdab (terowongan) sehingga berupa baju satu potongan dari atas hingga bawah. Bahwa jilbab bukan merupakan pakaian keseharian yang dikenakan wanita, dapat dipahami dari hadits Ummu ‘Athiyah, bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Rasulullah saw memerintahkan kami untuk keluar pada hari Fithri dan Adha, baik gadis yang menginjak akil baligh, wanita-wanita yang sedang haidh, maupun wanita-wanita pingitan. Wanita yang sedang haidh tetap meninggalkan shalat, namun mereka dapat menyaksikan kebaikan dan dkwah kaum muslim. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, salah seorang di antara kami ada yang tidak memiliki jilbab?”. Rasulullah saw menjawab, “hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya”. (HR. Muslim dari Ummu ‘Athiyah)

Ada dua hal yang dapat dipahami dari hadits ini. Pertama, wajibnya wanita mengenakan jilbab ketika hendak keluar rumah. Alasannya, Rasulullah saw tetap tidak memberikan ijin kepada wanita yang tidak memiliki jilbab untuk keluar rumah. Ketika ditanyakan mengenai wanita yang tidak memiliki jilbab, beliau justru memerintahkan wanita lain untuk meminjamkan jilbabnya kepadanya. Menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhani perintah Rasulullah itu memberikan makna, jika temannya tidak ada yang meminjami jilbab kepadanya untuk keluar, tidak sah baginya untuk keluar rumah. Ini merupakan qarinah yang menunjukkan wajibnya memakai jilbab bagi wanita yang hendak keluar rumah.

Kedua, memberikan pengertian tentang jilbab. Bahwa yang dimaksud dengan jilbab bukanlah pakaian sehari-hari yang biasa dikenakan wanita didalam rumah. Sebab, jika diceritakan ada seorang wanita yang tidak memiliki jilbab, tidak mungkin wanita itu tidak punya pakaian yang biasa di kenakan dalam rumah. Tentulah ia sudah memiliki pakaian, hanya saja pakaiannya tidak tidak terkategori sebagai jilbab. Dengan demikian, jilbab merupakan pakaian yang dikenakan di atas pakaian keseharian di dalam rumah.

Kata  yudnina merupakan bentuk mudhari dari kata adna. Sementara kata adna bersal dari kata  dana yang berarti bawah, rendah, atau dekat. Dengan demikian kata yudnina bisa diartikan yurkhina (mengulurkan ke bawah). Meskipun kalimat ini berbentuk khabar, namun mengandung makna perintah. Bisa pula sebagai jawaban atas perintah sebelumnya.

Berkait dengan gambaran yudninaalaiyhinna, terdapat perbedaan pendapat diatara para mufassir. Menurut sebagian mufassir, idna’ al-jilbab (mengulurkan jilbab ke bawah) adalah dengan menutupkan jilbab pada kepala dan wajahnya sehingga tidak tampak darinya kecuali hanya dua mata. Di antara  yang berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas, Ibnu Sirrin, ‘Abidah al-Salmani, dan al-Sudi. Demikian juga dengan al-Jazairi, al-Nasafi, dan al-Baidhawi.

Sebagian lainnya yang menyatakan, jilbab itu diikatkan di atas dahi kemudian ditutupkan pada hidung. Sekalipun kedua matanya terlihat, namun menutupi dada dan sebagian besar wajahnya. Demikian pendapat Ibnuu Abbas dalam riwayat lain dan Qatadah. Sedangkan menurut al-Hasan, jilbab itu menutupi separoh wajahnya.

Ada pula yang berpendapat, wajah tidak termasuk bagian yang ditutup dengan jilbab. Menurut Ikrimah, jilbab itu menutup bagian leher dan mengulur ke bawah menutupi tubuhnya. Sementara bagian atasnya ditutuo dengen Khimar (kerudung) yang juga diwajibkan oleh syara’

(Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An-Nur [24]: 31)

Pendapat ini ini juga di pilih oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani. Menurutnya, pakian yang syariahkan kepada wanita dalam kehidupan umum ada dua bagian, yakni pakaian bagian atas (al-libas al-a’la) dan pakaian bagian bawah (al-libas afsal). Pakaian bagian atas itu berupa Khimar  atau kerudung. Perintah kepada wanita mengenakan pakaian bagian atas ini di sampaikan dalam firman Allah Swt:

Dan hendaklah mereka menutupkan khimar (kerudung) ke dadanya. (QS an-Nur [24]: 31)

Dalam ayat terseebut Allah Swt memerintahkan para wanita mukminah untuk menutup khimar (kerudung). Dalam bahasa Arab, khimar adalah penutup kepala. Dalam ayat ini ditegaskan, khimar (penutup kepala, kerudung) harus menutupi leher dan dada mereka.

Sementara pakaian bagian bawah berupa jilbab. Perintah untuk mengenakan jilbab itu di sampaikan dalam QS al-Ahzab [33]: 59 ini. Oleh karena bagian kepala hingga leher dan dada telah di tutup kerudung, maka mengulurkan jilbab itu berarti mengulurkannya dari leher atau pundak hingga kaki. Dengan demikian, wajah tidak termasuk dalam cakupan anggota tubuh yang ditutup jilbab.

Pendapat ini diperkuat dengan hadits Jabir ra. Jabir berkata, “Saya pernah menghadiri shalat ied bersama Rasulullah saw. Shalat dimulai sebelum dengan tanpa adzan dan iqamat. Ketika shalat telah selesai, Rasulullah berdiri dan bersandar kepada Bilal. Kemudian beliau memuji Allah dan menasehati orang-orang, mengingatkan mereka, dan mendorong mereka untuk taat. Setelah shalat selesai, beliau lewat di depan para wanita. Beliau pun memberikan nasehat dan mengingatkan mereka. Di situlah beliau bersabda:

“Bersedekahlah, karena kebanyakan dari kalian adalah kayu bakar neraka”. Lantas seorang wanita yang duduk di tengah-tengah wanita kaum wanita yang kedua pipinya kehitam-hitaman (safa’ al-khaddayn) bertanya, “Mengapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Karena kalian banyak mengadu dan ingkar kepada suami”. (HR Ahmad dan al-Tirmidzi)

Deskripsi Jabir ra bahwa wanita yang bertanya kepada Rasulullah saw kedua pipinya kehitam-hitaman menunjukkan wajah wanita itu tidak tertutup. Jika hadits ini dikaitkan dengan hadits Ummu ‘Athiyyah yang mewajibkan wanita mengenakan jilbab saat hendak mengikuti shalat ied, berarti jilbab yang wajib dikenakan itu tidak harus menutup wajah. Sebab, jika pakaian wanita itu bukan jilbab atau penggunaannya tidak benar, tentulah Rasulullah akan menegur wanita itu dan melarangnya mengikuti shalat ied. Disamping hadits ini,  terdapat banyak riwayat yang menceritakan adanya wanita yang membuka wajahnya dalam kehidupan umum. Penafsiran  ini juga sejalan dengan firman Allah Awt:


Dan janganlah merka menampakkan kecuali yang biasa tampak daripadanya (QS an-Nur 31)

Juga hadits Aisyah ra, bahwa Asma’ binti Abu Bakar masuk ke rumah Rasulullah dengan pakaian tipis, beliaupun berpaling seraya bersabda:

“Wahai Asma’, sesungghunya seorang perempuan apabila mencapai usia haidh (baligh), tidak boleh ada yang terlihat darinya kecuali ini dan ini. Rasulullah saw menunjuk wajah dan telapak tangannya. (HR Abu Dawud dari Aisyah)

Menurut Ibnu Abbas, kata ma zhahara minha (yang biasa tampak) adalah wajah dan dua telapak tangan. Pendapat yang sama juga dikemukakan Ibnu Umar, ‘Atha’, Ikrimah, Said bin Jubayr, Abu al-Sya’tsa’, al-Dhahak, Ibrahim al-Nakha’i dan al-Auza’i. Demikian juga pendapat al-Thabari, al-Jashash, dan Ibnu al-‘Arabi. Bahkan menurut Ibnu Katsir, ini merupakan pendapat yang mahsyur di kalangan jumhur ulama.

Meskipun mereka berbeda pendapat tentang wajah dan telapak tangan, namun para mufassir sepakat bahwa jilbab yang dikenakan itu harus bisa menutup seluruh tubuhnya.

Mengenai keharusan menutup telapak kaki, didasarkan pada hadits Nabi saw:

“Barangsiapa yang menyeret bajunya lantaran angkuh, Allah tidak akan melihatnya pada hari Kiamat. Lantas Ummu Salamah bertanya. “Lalu bagaimana dengan ujung-ujung pakaian kami?”. Beliau menjawab : “Turunkanlah satu jengkal”. Ummu Salamah bertanya lagi. “Kalau begitu, telapak kakinya tersingkap”. “Lalu Rasulullah saw bersabda lagi”, “Turunkanlah satu hasta, dan jangan lebih dari itu” (HR al-Tirmidzi)

Pertanyaan Ummu Salamah yang mengkhawatirkan terlihatnya telapak kaki wanita (aqdamahunna) jika pakaiannya hanya dipanjangkan satu jengkal, lalau di jawab Rasulullah saw agar dipanjangkan satu hasta, menunjukkan qadamayn (telapak kaki, kaki bagian bawah) wanita tidak boleh tersingkap. Dengan emikian, berdasarkan hadits ini, jilbab yang di ulurkan dari atas hingga bawah harus bisa menutupi dua telapak kaki wanita.

Jika menutupi kedua telapak kakinya, berarti jilbab yang dikenakan menyentuh hingga tanah. Bukankah hal itu dapat menyebabkan jilbabnya tadi menjadi najis? Para wanita tidak perlu takut tentag hal ini. Sebab, jika itu terjadi, tanah yang dilewati berikutnya akan mensucikannya sehingga jilbabnya kembali menjadi suci.

Ummu al-Walad Abdurrahman bin ‘Auf pernah bertanya kepada Ummu Salamah ra isteri Rasulullah saw:

“Dia berkata: “Sesungguhnya akau seorang wanita yang memanjangkan ujung baju bagian bawahnya, sedang aku sering berjalan di tanah yang kotor, maka berkata Ummu Salamah ra: Rasulullah saw bersabda: “Akan menyucikannya tanah yang dilewati sesudahnya” (tanah yang akan dilewatinyaa)”. (HR Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Kemudian Allah Swt berfirman :

Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.

Kata dzalika dalam ayat ini merujuk kepad ketentuan pemakaian jilbab bagi wanita. Sedangkan adna berarti aqrab (lebih dekat). Yang dimaksud dengan lebih mudah dikenal itu bukan dalam hal siapanya, namun apa statusnya. Dengan jilbab, seorang wanita merdeka lebih mudah di kenali dan dibedakan dengan budak. Karena diketahui sebagai wanita merdeka, mereka pun tidak diganggu dan disakiti.

Patut di catat, hal itu bukanlah ‘illah (sebab disyariatkannya hukum), sehingga ada atau tidaknya perkara tersebut berimplikasi terhadap wajib atau tidaknya jilbab. Akan tetapi, agar lebih mudah dikenal dan tidak diganggu merupakan hikmah. Yakni, hasil yang didapat dari penerapan hukum. Sehingga penggunaan jilbab, baik bsa membuat wanita mukminah lebih dikenal atau tidak, kewajiban itu tidak berubah.

Ayat ini ditutup dengan ungkapan yang amat menentramkan hati. Allah Swt berfirman:

Dan Allah  Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.

Bahwa Allah Swt itu Maha Mengampuni dosa-dosa ham-Nya. Dia pun Maha Menyayangi hamba-Nya. Maka tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak bertaubat kepada-Nya jika telah terlanjut melakukan perbuatan dosa dan tidak mentaati aturan-Nya.

Mendatangkan Kebaikan
Ayat ini secara jelas memberikan ketentuan hukum tentang pakaian yang wajib dikenakan oleh wanita muslimah. Pakaian tersebut adalah jilbab yang menutup seluruh tubuhnya. Sebagaimana telah dipaparkan, selain jilbab, bagian kepala dan leher hingga dada juga wajib mengenakan khimar atau kerudung (QS an-Nisa’ [24]: 31). Kedua pakaian tersebut baik al-libas al-a’la (pakaian bagian atas)  maupun al-libas al-asfal (pakaian bagian bawah) , harus dikenakan ketika berada dalam kehidupan umum.

Selain nash-nash yang berisi perintah kepada wanita untuk mengenakan kerudung dan jilbab dalam kehidupan umum, juga terdapat nash-nash yang memberikan ancaman bagi wanita yang mengenakan pakaian yang tidak menutup aurat. Rasulullah saw bersabda:

“Ada dua macam orang yang termasuk ahli neraka, aku belum pernah melihat keduanya, yaitu suatu kaum, mereka mempunyai cambuk seperti buntut-buntut sapi yang mereka gunakan memukul orang-orang dan wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang yang berlenggak-lenggok dan memriringkan kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang condong (rebah), mereka tidak dapat masuuk surga dan tidak pula dapat mencium baunya, padahala bau surga dapat tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian. (HR Muslim dari Abu Hurairah ra)

Yang dimaksud berpakaian tetapi telanjang adalah pakaian yang menutup sebagian anggota tubuh dan menampakkan anggota tubuh lainnya. Ataupun pakaian yang tipis sehingga memperlihatkan warna kulitnya.

Besarnya ancaman yang disebutkan dalam hadits ini seharusnya membuat para wanita ngeri untuk mengenakan pakaian yang mengumbar auratnya. Mungkin ada kenikmatan dan kesenangan sesaat yang didapat dari perbuatan tersebut. Akan tetapi, semua itu tidak sebanding sengan siksa dahsyat yang bakal di dapat. Sebaliknya, ketika wanita mau mengenakan pakaian syar’i yang di perintahkan, dijanjikan pahala besar. Aisyah ra berkata:

“Semoga Allah merahmati mereka kaum wanita yang hijrah pertama kali, ketika Allah menurunkan firman-Nya,”Dan hendaklah mereka mengenakan kain kerudung mereka diulurkan ke arah baju mereka”. (QS an-Nur [24]:31). Maka kaum wanita itu merobek kain sarung mereka (untuk dijadikan kerudung) dan menutup kepala mereka dengannya (HR al-Bukhari dan Abu Dawud)

Akibat Mengumbar Aurat
Patut ditegaskan bahwa para wanita tak boleh merasa diperlakukan diskriminatif dengan kewajiban itu sebagimana kerap diteriakkan oleh para penganjur Feminisme. Faktanya, memang terdapat perbedaan mencolok antara tubuh wanita dengan tubuh laki-laki. Oleh karenanya, wajar jika ketentuan terhadapnya pun berbeda. Keadilan tak selalu harus sama. Jika memang faktanya berbeda, solusi terhadapnya pun juga tak harus sama.


Fakta menunjukkan kehadiran wanita yang tidak menutup aurat dapat membangkitkan birahi lawan jenisnya. Sebab, sebagaimana layaknya naruli (gharizah), naluri seksual juga tidak akan muncul dan menuntut pemenuhan jika tida ada stimulus yang merangsangnya. Tubuh yang dibiarkan terbuka, apalagi disertai gerakan erotis, merupakan fakta yang dapat merangsang birahi. Dengan aurat terbuka, sensual, erotis, penilaian terhadap wanita lebih pada sifat-sifat fisiknya. Wanita hanya dipandang sebagai onggokan daging yang memenuhi birahi hawa nafsu saja. Bukan kepada kepribadian, kecerdasan, dan professionalisme serta ketakwaannya.

Ketentuan tersebut tentu kontradiksi dengan pandangan masyarakat barat yang dikuasai dengan ideologi Kapitalisme. Di masyarakat barat, aurat perempuan diumbar diberbagai sudut kehidupan. Pornografi dan Pornoaksi menyesaki hampir semua relung kehiupan. Pornografi pun menjadi ladang bisnis yang amat subur.

Dalam bisnis media, pornografi merupakan salah satu produk media yang paling besar omsetnya. Di Amerika pornografi menghasilkan keuntungan kotor U$ 1 juta perhari, angka ini 30% lebih besar dari perolehan industri film yang bertema lain. Secara global, pornografi menghasilkan keuntungan 7 milyar dollar pertahun, keuntungan yang lebih besar daripada yang diperoleh dari gabungan anatara keuntungan industri fil, yang sah dan industri film musik.

Tidak dapat ingkari, pornografi telah menyumbangkan andil yang amat besar dalam pergaulan seks bebas. Berikutnya, pergaulan bebas itu tentu menyebabkan rentetan akibat yang berujung kepada ambruknya bangunan keluarga dan masyarakat. Menurut data statistik, tingkat perkawinan yang legal di barat semakin menurun. Artinya, masyarakat lebih senang melakukan hubungan yang ilegal di luar perkawinan.

Berdasarkan data dari News And World Report, lebih dari satu juta anak gadis Amerika yang mengandung, 75 persennya adalah tanpa nikah. Dari jumlah tersebut, 80 persen-nya adalah ibu-ibu muda yang miskin dan memerlukan bantuan dari pemerintah. Pusat penelitian ini juga menemukan data bahwa saat ini, setiap dua anak Amerika, satu diantaranya adalah anak hasil zina (data dari News And World Report)

Perilaku seks bebas juga berbanding lurus dengan peningkatan angka aborsi. Di Inggris, pada tahun 1991 aborsi mencapai 180.000. dari angka tersebut 110.000 diantaranya terjadi pada perempuan yang tidak menikah. Hanya 1% di antaranya yang dilakukan karena alasan medis. Dua tahun kemudian, tahun 1993 aborsi meningkat pesat, hingga mencapai 819.000 aborsi. Lebih dari 3.000 aborsi dilakukan pada gadis berusia 15 tahun kebawah (di Inggris, remaja usia 16 tahun dianggap sudah dewasa, sehingga boleh menetukan hidupnya sendiri yang dianggapnya baik) dan lebih dari 31.000 aborsi dilakukan pada gadis 19 tahun ke bawah.

Fakta menunjukkan di negara-negara barat yang kehidupannya dipenuhi dengan pornografi dan pornoaksi angka perzinahan dan pemerkosaannya amat mengerikan. Di AS pada tahun 1995, misalnya angka statistik nasional menunjukkan, setiap tahunnya ada 683.280 wanita diperkosa. Itu berarti, setiap harinya 1.872 wanita diperkosa, atau setiap jamnya 78 wanita diperkosa, atau setiap menitnya 1,3 wanita diperkosa.

Realitas ini makin membuktikan kebenaran ayat ini: Dzalika adna an yu’rafna fala yu’dzayn (yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu). Kewajiban jilbab dapat menutup salah satu celah yang dapat mengantarkan tindak kekerasan kepada wanita. Meskipun sekali lagi harus ditegaskan bahwa itu bukanlah ‘illah (sebab disyariahkannya hukum), namun merupakan hikmah (hasil yang diperoleh dari penerapan hukum).

Walhasil, penutup ayat ini harus menjadi catatan amat penting dalam menyikapi kewajiban jilbab. “Wa kanal-lah Ghafura Rahima (dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). Ini memberikan isyarat, kewajiban jilbab tersebut merupakan salah satu bentuk kasih sayang Allah Swt kepada hamba-Nya. Siapa yang tidak mau disyangi-Nya? Wal-lah a’lam bi al-shawab.


Sumber Buku: Tafsir Ayat Pilihan Al Wa’ie. Al Azhar Fresh Zone Publishing. Cetakan 1, Rabiul Awal 1434/ Januari 2013.

0 Response to "KEWAJIBAN BERJILBAB (Tafsir QS al-Ahzab: 59)"

Post a Comment