Bagaimanapun juga duduk
persoalannya, para pemikir komunis boleh dikatakan satu-satunya pihak yang
serius untuk memahami makna akal. Mereka telah menempuh jalan yang lurus untuk
mengetahui fakta akal. Meskipun mereka telah keliru dalam mendefinisikan akal
dan menyimpang dari jalan yang mereka tempuh untuk mencapai pengetahuan
tersebut secara meyakinkan dan pasti, tetapi mereka telah membuka jalan bagi
generasi sesudahnya yang menempuh jalan untuk mencapai pengetahuan tentang
fakta akal secara meyakinkan dan pasti.
Memang benar, kaum Muslim mempunyai
dalil yang yang menunjukkan bahwa informasi yang terdahulu tentang sesuatu
memang perkara yang harus ada agar sesuatu tersebut dapat dipahami. Meskipun ini
memang benar, tetapi yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa definisi akal
merupakan deskripsi mengenai suatu fakta, dan yang dikehendaki dari definisi tersebut.
Maka dari itu, definisi akal harus dibangun atas dasar realitas yang ada (musyahad) yang dapat diendera (Mahsus), karena yang dikehendaki adalah
agar seluruh manusia bukan kaum Muslim saja terikat dengan definisi tersebut.
Didalam al-Qur’an, Allah Swt
berfirman:
“Allah telah mengajarkan [memberi informasi] kepada Adam nama-nama
[benda-benda] seluruhnya, kemudian Allah mengemukakannya kepada Malaikat lalu
berfirman, “Sebutkankanlah kepada-Ku nama-nama benda-benda itu jika kamu memang
orang-orang yang benar !”. Mereka menjawab,
“Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau
ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkau Mahatahu dan Mahabijaksana.”Allah
berfirman,”Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda-benda itu!”
Maka setelah Adam memberitahukan kepada kepada mereka nama-nama benda itu,
Allah berfirman, “Bukankah sudah Aku katakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku
mengetahui rahasia langit dan bumi serta mengetahui apa saja yang kamu
tampakkan dan apa yang kamu sembunyikan?” (TQS. al-Baqarah [2]: 31-33)
Ayat ini menunjukkan bahwa informasi
terdahulu mesti ada untuk sampai pada pengetahuan apapun. Nabi Adam as telah
diberi informasi oleh Allah Swt tentang nama benda-benda atau apa yang
ditunjukkan oleh nama-nama tersebut. Oleh karena itu, ketika benda-benda
tersebut disodorkan kehadapan Nabi Adam, dia langsung mengetahuinya. Manusia pertama,
yaitu Adam, sesungguhnya telah diberi sejumlah informasi oleh Allah hingga ia bisa
mengetahui nama-nama benda-benda. Seandainya saja berbagai informasi tersebut
tidak ada, Adam tentu tidak akan mengetahuinya.
Mengingat sumber penyimpangan dari
jalan yang ditempuh oleh para pemikir Komunis dalam memahami fakta akal
terletak pada keharusan adanya informasi terdahulu ini, maka ayat tersebut
sudah cukup untuk menjelaskan kekeliruan mereka dalam mendefinisikan akal dan
segi penyimpangan mereka. Ini juga cukup untuk menunjukkan bahwa proses
berpikir tidak akan bisa terwujud kecuali dengan adanya informasi terdahulu
tentang fakta yang disodorkan ke dalam otak. Hanya saja, karena yang
dikehendaki adalah agar seluruh manusia bukan hanya kaum Muslim saja terikat
dengan definisi akal, maka harus diketengahkan realitas yang ada (musyahad) yang dapat diindera (mahsus), yakni bahwa informasi
terdahulu tentang fakta adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan
pemikiran, atau agar akal bisa terbentuk atau terwujud. Ini disebabkan
keberadaan akal sangat bergantung pada adanya informasi terdahulu pada otak,
meskipun fakta merupakan syarat penting bagi terwujudnya aktifitas akal,
pemikiran atau proses berpikir.
Dengan demikian, tidaklah cukup
untuk menyadari bahwa segi penyimpangan kaum komunis dari jalan lurus yang
mereka tempuh tetapi kemudian mereka menyimpang adalah bahwa yang terjadi itu
penginderaan/pencerapan otak terhadap fakta, bukanlah refleksi. Ini tidak cukup
karena mengetahui segi penyimpangan ini adalah mudah, dan bukan dasar dari
penyimpangan mereka. Dasar penyimpangan mereka justru masalah keharusan adanya
informasi terdahulu (ma’lumat sabiqah)
tentang fakta. Dengan adanya informasi terdahulu, aktivitas atau eksistensi
akal dapat diwujudkan.
Sebagaimana telah disadari, bahwa
yang terjadi adalah pecerapan otak terhadap fakta, bukan refleksi fakta
terhadap otak. Sebelumnya, dari pemahaman terhadap ayat al-Qur’an al-Karim
diatas, dan juga dari pemaparan realitas ayng dapat ditangkap indera, telah
dihasilkan sebuah kesadaran bahwa informasi terdahulu tentang fakta atau
tentang apa saja yang berkaitan dengan fakta, merupakan perkara yang harus ada
dalam mewujudkan akal atau kesadaran (idrak).
Tanpa adanya informasi terdahulu, mustahil akal atau kesadaran dapat
diwujudkan. Dengan begitu, akan bisa diketahui makna akal, lalu definisi akal
secara sahih dalam bentuk yang meyakinkan dan pasti.
Bahwa yang terjadi dalam proses
berpikir atau aktivitas akal (‘amaliyah
aqliyah) adalah penginderaan/pencerapan (ihsas),
bukan refleksi (in’ikas), dapat
dijelaskan bhwa sebenarnya tidak proses refleksi antara materi (fakta yang
terindera, tangible thing) dan otak. Jadi
otak tidak direfleksikan kepada materi atau sebaliknya materi juga tidak
direfleksikan pada otak. Sebab, refleksi (proses pemantulan) membutuhkan adanya
reflektivitas (kemampuan memantulkan) yang bisa merefleksikan sesuatu, seperti
halnya cermin dan cahaya. Jadi cermin dan cahaya membutuhkan kapasitas refleksi
untuk memantulkan materi. Hal ini tidak ada pada otak maupun materi. Karena itu
tidak ada sama sekali proses refleksi antara materi dan otak, karena materi
tidak direfleksikan kedalam otak, atau tidak dapat dipindahkan kedalam otak. Yang
berpindah adalah penginderaan (pencerapan) materi kedalam otak melalui panca
indera. Artinya, panca inderalah yang mana saja yang mencerap materi. Lalu penginderaan
tersbut berpindah kedalam otak sehingga otak mampu mengeluarkan penilaian (hukm, judgement) atas materi.
Pemindahan penginderaan materi
kedalam otak bukanlah proses refleksi materi terhadap otak atau sebaliknya
refleksi otak terhadap materi. Yang terjadi hanyalah penginderaan materi oleh
panca indera. Tidak ada perbedaan antara mata dan indera lainnya. Maka proses
penginderaan materi dapat terjadi melalui perabaan, penciuman, pengecapan,
pendengaran, atau penglihatan. Dengan demikian, yang terjadi pada berbagai
objek-objek bukanlah refleksi terhadap otak, melainkan penginderaan terhadap objek-objek
tersebut. Artinya, manusia mengindera benda-benda melalui panca inderanya, dan
bukan benda-benda tersebut yang direfleksikan kedalam otak manusia.
Bersambung…
Sumber Buku: Hakekat berpikir, Oleh
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Pustaka Thariqul Izzah, Cetakan V, Jumadil Akhir
1431 H / Juni 2010
0 Response to "DEFINISI AKAL YANG SAHIH BAG 1"
Post a Comment