DEFINISI AKAL YANG SAHIH BAG 1

Bagaimanapun juga duduk persoalannya, para pemikir komunis boleh dikatakan satu-satunya pihak yang serius untuk memahami makna akal. Mereka telah menempuh jalan yang lurus untuk mengetahui fakta akal. Meskipun mereka telah keliru dalam mendefinisikan akal dan menyimpang dari jalan yang mereka tempuh untuk mencapai pengetahuan tersebut secara meyakinkan dan pasti, tetapi mereka telah membuka jalan bagi generasi sesudahnya yang menempuh jalan untuk mencapai pengetahuan tentang fakta akal secara meyakinkan dan pasti.

Memang benar, kaum Muslim mempunyai dalil yang yang menunjukkan bahwa informasi yang terdahulu tentang sesuatu memang perkara yang harus ada agar sesuatu tersebut dapat dipahami. Meskipun ini memang benar, tetapi yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa definisi akal merupakan deskripsi mengenai suatu fakta, dan yang dikehendaki dari definisi tersebut. Maka dari itu, definisi akal harus dibangun atas dasar realitas yang ada (musyahad) yang dapat diendera (Mahsus), karena yang dikehendaki adalah agar seluruh manusia bukan kaum Muslim saja terikat dengan definisi tersebut.

Didalam al-Qur’an, Allah Swt berfirman:

“Allah telah mengajarkan [memberi informasi] kepada Adam nama-nama [benda-benda] seluruhnya, kemudian Allah mengemukakannya kepada Malaikat lalu berfirman, “Sebutkankanlah kepada-Ku nama-nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar !”. Mereka menjawab, “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkau Mahatahu dan Mahabijaksana.”Allah berfirman,”Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda-benda itu!” Maka setelah Adam memberitahukan kepada kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman, “Bukankah sudah Aku katakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi serta mengetahui apa saja yang kamu tampakkan dan apa yang kamu sembunyikan?” (TQS. al-Baqarah [2]: 31-33)

Ayat ini menunjukkan bahwa informasi terdahulu mesti ada untuk sampai pada pengetahuan apapun. Nabi Adam as telah diberi informasi oleh Allah Swt tentang nama benda-benda atau apa yang ditunjukkan oleh nama-nama tersebut. Oleh karena itu, ketika benda-benda tersebut disodorkan kehadapan Nabi Adam, dia langsung mengetahuinya. Manusia pertama, yaitu Adam, sesungguhnya telah diberi sejumlah informasi oleh Allah hingga ia bisa mengetahui nama-nama benda-benda. Seandainya saja berbagai informasi tersebut tidak ada, Adam tentu tidak akan mengetahuinya.

Mengingat sumber penyimpangan dari jalan yang ditempuh oleh para pemikir Komunis dalam memahami fakta akal terletak pada keharusan adanya informasi terdahulu ini, maka ayat tersebut sudah cukup untuk menjelaskan kekeliruan mereka dalam mendefinisikan akal dan segi penyimpangan mereka. Ini juga cukup untuk menunjukkan bahwa proses berpikir tidak akan bisa terwujud kecuali dengan adanya informasi terdahulu tentang fakta yang disodorkan ke dalam otak. Hanya saja, karena yang dikehendaki adalah agar seluruh manusia bukan hanya kaum Muslim saja terikat dengan definisi akal, maka harus diketengahkan realitas yang ada (musyahad) yang dapat diindera (mahsus), yakni bahwa informasi terdahulu tentang fakta adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan pemikiran, atau agar akal bisa terbentuk atau terwujud. Ini disebabkan keberadaan akal sangat bergantung pada adanya informasi terdahulu pada otak, meskipun fakta merupakan syarat penting bagi terwujudnya aktifitas akal, pemikiran atau proses berpikir.

Dengan demikian, tidaklah cukup untuk menyadari bahwa segi penyimpangan kaum komunis dari jalan lurus yang mereka tempuh tetapi kemudian mereka menyimpang adalah bahwa yang terjadi itu penginderaan/pencerapan otak terhadap fakta, bukanlah refleksi. Ini tidak cukup karena mengetahui segi penyimpangan ini adalah mudah, dan bukan dasar dari penyimpangan mereka. Dasar penyimpangan mereka justru masalah keharusan adanya informasi terdahulu (ma’lumat sabiqah) tentang fakta. Dengan adanya informasi terdahulu, aktivitas atau eksistensi akal dapat diwujudkan.

Sebagaimana telah disadari, bahwa yang terjadi adalah pecerapan otak terhadap fakta, bukan refleksi fakta terhadap otak. Sebelumnya, dari pemahaman terhadap ayat al-Qur’an al-Karim diatas, dan juga dari pemaparan realitas ayng dapat ditangkap indera, telah dihasilkan sebuah kesadaran bahwa informasi terdahulu tentang fakta atau tentang apa saja yang berkaitan dengan fakta, merupakan perkara yang harus ada dalam mewujudkan akal atau kesadaran (idrak). Tanpa adanya informasi terdahulu, mustahil akal atau kesadaran dapat diwujudkan. Dengan begitu, akan bisa diketahui makna akal, lalu definisi akal secara sahih dalam bentuk yang meyakinkan dan pasti.

Bahwa yang terjadi dalam proses berpikir atau aktivitas akal (‘amaliyah aqliyah) adalah penginderaan/pencerapan (ihsas), bukan refleksi (in’ikas), dapat dijelaskan bhwa sebenarnya tidak proses refleksi antara materi (fakta yang terindera, tangible thing) dan otak. Jadi otak tidak direfleksikan kepada materi atau sebaliknya materi juga tidak direfleksikan pada otak. Sebab, refleksi (proses pemantulan) membutuhkan adanya reflektivitas (kemampuan memantulkan) yang bisa merefleksikan sesuatu, seperti halnya cermin dan cahaya. Jadi cermin dan cahaya membutuhkan kapasitas refleksi untuk memantulkan materi. Hal ini tidak ada pada otak maupun materi. Karena itu tidak ada sama sekali proses refleksi antara materi dan otak, karena materi tidak direfleksikan kedalam otak, atau tidak dapat dipindahkan kedalam otak. Yang berpindah adalah penginderaan (pencerapan) materi kedalam otak melalui panca indera. Artinya, panca inderalah yang mana saja yang mencerap materi. Lalu penginderaan tersbut berpindah kedalam otak sehingga otak mampu mengeluarkan penilaian (hukm, judgement) atas materi.

Pemindahan penginderaan materi kedalam otak bukanlah proses refleksi materi terhadap otak atau sebaliknya refleksi otak terhadap materi. Yang terjadi hanyalah penginderaan materi oleh panca indera. Tidak ada perbedaan antara mata dan indera lainnya. Maka proses penginderaan materi dapat terjadi melalui perabaan, penciuman, pengecapan, pendengaran, atau penglihatan. Dengan demikian, yang terjadi pada berbagai objek-objek bukanlah refleksi terhadap otak, melainkan penginderaan terhadap objek-objek tersebut. Artinya, manusia mengindera benda-benda melalui panca inderanya, dan bukan benda-benda tersebut yang direfleksikan kedalam otak manusia.

Bersambung…


Sumber Buku: Hakekat berpikir, Oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Pustaka Thariqul Izzah, Cetakan V, Jumadil Akhir 1431 H / Juni 2010

0 Response to "DEFINISI AKAL YANG SAHIH BAG 1"

Post a Comment