DEFINISI AKAL YANG SAHIH BAG 4

Ini berbeda dengan otak manusia. Pada otak manusia terdapat kemampuan mengaitkan informasi (dengan fakta), bukan hanya kemampuan mengingat kembali penginderaan. Contohnya, jika seseorang melihat seorang lelaki di Baghdad, kemudian setelah sepuluh tahun ia kembali melihatnya di Damaskus, maka dia akan segera mengingat kembali penginderaannya akan laki-laki tersebut. Akan tetapi, karena pada dirinya tidak terdapat informasi tentang lelaki itu, ia tidak akan memahami apapun tentang lelaki itu. Berbeda halnya jika ia melihat lelaki itu di Baghdad, lalu memperoleh informasi tentang lelaki tersebut. Maka ia akan mampu mengaitkan kehadiran lelaki tersebut di Damaskus dengan sejumlah informasi terdahulu tentang diriya dan memahmi maksud kehadirannya di Damaskus. Ini berbeda dengan hewan. Walaupun hewan mampu mengingat kembali penginderaan terhadap lelaki tersebut, ia tetap tidak akan mampu memahami maksud kehadirannya di Damaskus. Hewan hanya mampu mengingat kembali lelaki tersebut terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan nalurinya ketika dia mengindera lelaki tersebut. Jadi hewan hanya mampu mengingat kembali penginderaannya, tetapi tidak mampu mengaitkan informasi dengan faktanya, walaupun informasi tersebut diberikan melalui proses pelatihan dan peniruan. Lain halnya dengan manusia. Manusia mampu mengingat kembali penginderaannya dan sekaligus mampu mengaitkan informasi yang ada dengan faktanya. Dengan demikian pada otak manusia terdapat kemampuan mengingat kembali penginderaan dan mengaitkan informasi, sedangkan pada otak hewan hanya terdapat kemampuan mengingat kembali penginderaan.

Adapun perbedaan aspek yang berkaitan dengan naluri dan kebutuhan fisik, dengan aspek yang berkaitan dengan penilaian atas berbagai benda (asy-syai’, matter) benda apakah itu dapat dijelaskan sebagai berikut. Bahwa apa yang menyangkut naluri, manusia bisa mengingat kembali penginderaannya melalui proses penginderaan yang berulang-ulang. Manusia bisa pula, dengan kemampuan otak manusia untuk mengaitkan informasi, untuk membentuk berbagai informasi (ma’lumat), dari sekumpulan apa yang telah didapatkannya dari proses penginderaan dan proses pengingatan kembali penginderaan. Manusia juga mampu mengingat kembali berbagai penginderaan yang dilakukannya dengan berbagai informasi terdahulu, pada hal-hal yang menyangkut naluri dan kebutuhan fisiknya. Akan tetapi, manusia tidak akan mungkin mengaitkan berbagai informasi tersebut pada hal-hal yang tidak berkaitan dengan naluri dan kebutuhan fisiknya. Dia tidak akan bisa mengaitkan berbagai informasi tersebut untuk menilai suatu benda, benda apakah itu. Oleh karena itu, banyak orang mengalami kerancuan untuk membedakan aktivitas mengingat kembali penginderaan (‘amaliyah al-istirja’) dengan aktivitas pengaitan informasi (‘amaliyah ar-rabth). Aktivitas mengingat kembali penginderaan tidak akan terwujud kecuali pada aspek yang berkaitan dengan naluri dan kebutuhan fisik. Sebaliknnya, aktivitas pengaitan informasi, terdapat pada segala sesuatu, baik yang berkaitan dengan naluri dan kebutuhan fisik, maupun yang berkaitan dengan penilaian atas segala sesuatu benda, benda apakah itu. Artinya, informasi terdahulu harus ada dalam aktivitas pengaitan, dan keunggulan manusia atas hewan tak lain terletak pad kemampuan mengaitkan informasi ini.

Atas dasar ini, fakta bahwa manusia bisa membuat perahu kayu dari pengetahuannya akan sepotong kayu yang terapung, adalah sama dengan fakta seekor kera yang setelah melihat pisang yang tergantung pada tandannya, dia tahu jatuhnya pisang tersebut mungkin terjadi dengan cara memukul tandannya dengan tongkat atau benda lainnya. Kedua contoh ini berkaitan dengan naluri dan kebutuhan fisik. Meskipun telah terjadi proses pengaitan dan telah terbentuk pula informasi, sesungguhnya yang terjadi adalah proses mengingat kembali penginderaan, bukan proses pengaitan informasi. Karenanya itu, bukanlah aktivitas berpikir atau tidak menunjukkan adanya akal atau pemikiran. Sebaliknya yang menunjukkan adanya akal atau pemikiran, atau adanya aktivitas berpikir secara nyata, adalah aspek penilaian atas sesuatu. Dan penilaian itu sendiri tidak akan bisa terjadi, kecuali dengan adanya proses pengaitan dan pengaitan dengan informasi terdahulu. Dengan demikian, informasi terdahulu mesti ada dalam setiap aktivitas pengaitan, agar akal atau pemikiran dapat dibentuk. Dengan kata lain, informasi terdahulu harus ada agar aktivitas akal dapat terwujud.

Banyak orang berusaha menjelaskan bagaimana manusia pertama bisa memperoleh pemikiran dan melangsungkan proses berpikir dari percobaan-percobaan yang dilakukannya dan dari pembentukan berbagai informasi yang dihasilkan dari percobaan-percobaan tersebut. Mereka menjelaskan itu semua untuk mendapatkan kesimpulan, bahwa refleksi fakta terhadap otak atau pencerapan yang dilakukan manusia terhadap fakta, dapat menjadikan manusia berpikir, dan membentuk aktivitas akal, atau mewujudkan pemikiran atau proses berpikir padanya. Namun telah kami jelaskan sebelumnya, bahwa ini adalah proses mengingat kembali penginderaan (istirja’) dan bukan proses pengaitan informasi, dan bahwa ini khusus berkaitan dengan naluri dan tidak berkaitan dengan penilaian atas sesuatu. Penjelasan ini sesungguhnya telah cukup untuk membantah dan menggugurkan pendapat mereka itu. Namun demikian, yang menjadi pokok bahasan sebenarnya bukan perihal manusia pertama, tidak pula berkaitan dengan berbagai asumsi, spekulasi, dan fantasi. Pokok masalahnya sebenarnya berkaitan dengan manusia itu sendiri, sebagai manusia. Artinya, seharusnya kita tidak mengambil manusia pertama untuk kemudian dianalogikan dengan manusia sekarang, karena dengan begitu kita berarti telah menganalogikan sesuatu yang nyata bertolak dari sesuatu yang gaib. Seharusnya kita mengambil manusia sekarang manusia yang ada di hadapan kita, yang bisa kita saksikan dan kita indera untuk kemudian dianalogikan dengan manusia pertama. Dengan demikian, kita berarti telah menganalogikan sesuatu yang gaib bertolak dari sesuatu yang nyata. Dan apa yang berlaku pada manusia pada saat ini yang bisa diindera dan disaksikan secara langsung berlaku pula untuk setiap manusia, termasuk manusia pertama. Oleh karena itu, kita tidak boleh memutarbalikkan argumen. Kita harus mendatangkan argumen dengan cara yang benar.
Bersambung…


Sumber Buku: Hakekat berpikir, Oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Pustaka Thariqul Izzah, Cetakan V, Jumadil Akhir 1431 H / Juni 2010

0 Response to "DEFINISI AKAL YANG SAHIH BAG 4"

Post a Comment