Ini berbeda dengan otak
manusia. Pada otak manusia terdapat kemampuan mengaitkan informasi (dengan
fakta), bukan hanya kemampuan mengingat kembali penginderaan. Contohnya, jika
seseorang melihat seorang lelaki di Baghdad, kemudian setelah sepuluh tahun ia
kembali melihatnya di Damaskus, maka dia akan segera mengingat kembali
penginderaannya akan laki-laki tersebut. Akan tetapi, karena pada dirinya tidak
terdapat informasi tentang lelaki itu, ia tidak akan memahami apapun tentang
lelaki itu. Berbeda halnya jika ia melihat lelaki itu di Baghdad, lalu
memperoleh informasi tentang lelaki tersebut. Maka ia akan mampu mengaitkan
kehadiran lelaki tersebut di Damaskus dengan sejumlah informasi terdahulu
tentang diriya dan memahmi maksud kehadirannya di Damaskus. Ini berbeda dengan
hewan. Walaupun hewan mampu mengingat kembali penginderaan terhadap lelaki
tersebut, ia tetap tidak akan mampu memahami maksud kehadirannya di Damaskus.
Hewan hanya mampu mengingat kembali lelaki tersebut terbatas pada hal-hal yang
berkaitan dengan nalurinya ketika dia mengindera lelaki tersebut. Jadi hewan
hanya mampu mengingat kembali penginderaannya, tetapi tidak mampu mengaitkan
informasi dengan faktanya, walaupun informasi tersebut diberikan melalui proses
pelatihan dan peniruan. Lain halnya dengan manusia. Manusia mampu mengingat
kembali penginderaannya dan sekaligus mampu mengaitkan informasi yang ada
dengan faktanya. Dengan demikian pada otak manusia terdapat kemampuan mengingat
kembali penginderaan dan mengaitkan informasi, sedangkan pada otak hewan hanya
terdapat kemampuan mengingat kembali penginderaan.
Adapun perbedaan aspek
yang berkaitan dengan naluri dan kebutuhan fisik, dengan aspek yang berkaitan
dengan penilaian atas berbagai benda (asy-syai’,
matter) benda apakah itu dapat dijelaskan sebagai berikut. Bahwa apa yang
menyangkut naluri, manusia bisa mengingat kembali penginderaannya melalui
proses penginderaan yang berulang-ulang. Manusia bisa pula, dengan kemampuan
otak manusia untuk mengaitkan informasi, untuk membentuk berbagai informasi (ma’lumat), dari sekumpulan apa yang
telah didapatkannya dari proses penginderaan dan proses pengingatan kembali
penginderaan. Manusia juga mampu mengingat kembali berbagai penginderaan yang
dilakukannya dengan berbagai informasi terdahulu, pada hal-hal yang menyangkut
naluri dan kebutuhan fisiknya. Akan tetapi, manusia tidak akan mungkin
mengaitkan berbagai informasi tersebut pada hal-hal yang tidak berkaitan dengan
naluri dan kebutuhan fisiknya. Dia tidak akan bisa mengaitkan berbagai
informasi tersebut untuk menilai suatu benda, benda apakah itu. Oleh karena itu,
banyak orang mengalami kerancuan untuk membedakan aktivitas mengingat kembali penginderaan (‘amaliyah
al-istirja’) dengan aktivitas pengaitan
informasi (‘amaliyah ar-rabth). Aktivitas mengingat kembali penginderaan
tidak akan terwujud kecuali pada aspek yang berkaitan dengan naluri dan
kebutuhan fisik. Sebaliknnya, aktivitas pengaitan informasi, terdapat pada
segala sesuatu, baik yang berkaitan dengan naluri dan kebutuhan fisik, maupun
yang berkaitan dengan penilaian atas segala sesuatu benda, benda apakah itu.
Artinya, informasi terdahulu harus ada dalam aktivitas pengaitan, dan
keunggulan manusia atas hewan tak lain terletak pad kemampuan mengaitkan
informasi ini.
Atas dasar ini, fakta
bahwa manusia bisa membuat perahu kayu dari pengetahuannya akan sepotong kayu
yang terapung, adalah sama dengan fakta seekor kera yang setelah melihat pisang
yang tergantung pada tandannya, dia tahu jatuhnya pisang tersebut mungkin
terjadi dengan cara memukul tandannya dengan tongkat atau benda lainnya. Kedua
contoh ini berkaitan dengan naluri dan kebutuhan fisik. Meskipun telah terjadi
proses pengaitan dan telah terbentuk pula informasi, sesungguhnya yang terjadi
adalah proses mengingat kembali penginderaan, bukan proses pengaitan informasi.
Karenanya itu, bukanlah aktivitas berpikir atau tidak menunjukkan adanya akal
atau pemikiran. Sebaliknya yang menunjukkan adanya akal atau pemikiran, atau
adanya aktivitas berpikir secara nyata, adalah aspek penilaian atas sesuatu.
Dan penilaian itu sendiri tidak akan bisa terjadi, kecuali dengan adanya proses
pengaitan dan pengaitan dengan informasi terdahulu. Dengan demikian, informasi
terdahulu mesti ada dalam setiap aktivitas pengaitan, agar akal atau pemikiran
dapat dibentuk. Dengan kata lain, informasi terdahulu harus ada agar aktivitas
akal dapat terwujud.
Banyak orang berusaha
menjelaskan bagaimana manusia pertama bisa memperoleh pemikiran dan
melangsungkan proses berpikir dari percobaan-percobaan yang dilakukannya dan
dari pembentukan berbagai informasi yang dihasilkan dari percobaan-percobaan
tersebut. Mereka menjelaskan itu semua untuk mendapatkan kesimpulan, bahwa
refleksi fakta terhadap otak atau pencerapan yang dilakukan manusia terhadap
fakta, dapat menjadikan manusia berpikir, dan membentuk aktivitas akal, atau
mewujudkan pemikiran atau proses berpikir padanya. Namun telah kami jelaskan
sebelumnya, bahwa ini adalah proses mengingat kembali penginderaan (istirja’) dan bukan proses pengaitan
informasi, dan bahwa ini khusus berkaitan dengan naluri dan tidak berkaitan
dengan penilaian atas sesuatu. Penjelasan ini sesungguhnya telah cukup untuk
membantah dan menggugurkan pendapat mereka itu. Namun demikian, yang menjadi pokok
bahasan sebenarnya bukan perihal manusia pertama, tidak pula berkaitan dengan
berbagai asumsi, spekulasi, dan fantasi. Pokok masalahnya sebenarnya berkaitan
dengan manusia itu sendiri, sebagai manusia. Artinya, seharusnya kita tidak
mengambil manusia pertama untuk kemudian dianalogikan dengan manusia sekarang,
karena dengan begitu kita berarti telah menganalogikan sesuatu yang nyata
bertolak dari sesuatu yang gaib. Seharusnya kita mengambil manusia sekarang
manusia yang ada di hadapan kita, yang bisa kita saksikan dan kita indera untuk
kemudian dianalogikan dengan manusia pertama. Dengan demikian, kita berarti
telah menganalogikan sesuatu yang gaib bertolak dari sesuatu yang nyata. Dan
apa yang berlaku pada manusia pada saat ini yang bisa diindera dan disaksikan
secara langsung berlaku pula untuk setiap manusia, termasuk manusia pertama.
Oleh karena itu, kita tidak boleh memutarbalikkan argumen. Kita harus
mendatangkan argumen dengan cara yang benar.
Bersambung…
Sumber Buku: Hakekat berpikir, Oleh
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Pustaka Thariqul Izzah, Cetakan V, Jumadil Akhir
1431 H / Juni 2010
0 Response to "DEFINISI AKAL YANG SAHIH BAG 4"
Post a Comment