Kenyataan diatas
sangatlah jelas, sejelas cahaya matahari yang menimpa objek-objek material,
yakni bahwa pencerapan atau penginderaanlah yang sebenarnya terjadi.
Sementara itu, dalam
kaitannya dengan objek-objek yang bersifat maknawi atau spiritual (ruhani),
maka sebenarnya terjadi juga penginderaan (pencerapan) terhadap objek-objek
tersebut hingga dihasilkan aktivitas berpikir terhadapnya. Berkenaan dengan
suatu masyarakat yang mundur, harus terjadi penginderaan hingga terjadi
penginderaan hingga dapat diputuskan bahwa suatu masyarakat mengalami
kemunduran. Realitas kemunduruan masyarakat jelas bersifat material. Berkenaan
dengan hal-hal yang menodai kehormatan, harus ada penginderaan mengenai
penodaan yang terjadi, atau penginderaan bahwa suatu benda atau tindakan telah
menodai kehormatan. Dengan begitu, bisa diputuskan bahwa telah terjadi penodaan
atau ada sesuatu yang tajam yang telah melukai atau menodai kehormatan. Ini
adalah perkara yang bersifat maknawi. Demikian pula mengenai hal-hal yang bisa
menimbulkan kemurkaan Allah, harus ada penginderaan terhadap [sebab] kemurkaan
Allah yang terjadi, atau penginderaan terhadap tindakan atau sesuatu yang bisa
menimbulkan kemurkaan Rabbul Izzati
(Allah), yakni yang dapat menyulut api kebencian dan bara kemarahan bagi Adz-Dzat Al-‘Illiyah (Allah). Ini adalah masalah yang bersifat
spiritual (ruhani).
Tanpa ada proses
penginderaan dalam semua hal diatas, jelas tidak akan terwujud aktivitas akal (‘amaliyah aqliyah). Proses penginderaan
merupakan hal yang mesti ada agar terjadi aktivitas akal, baik untuk
objek-objek material maupun objek-objek non material. Hanya saja, proses
pencerapan terhadap objek-objek yang bersifat material akan terjadi secara
alamiah, meskipun akan dapat berlangsung secara kuat atau lemah sesuai
pemahaman seseorang terhadap karakter objek yang dicerapnya. Oleh karena itu,
para pemikir menyatakan bahwa pencerapan yang muncul dari kesadaran atau
pemikiran (al-ihsas al-fikri) adalah
jenis pencerapan yang paling kuat. Sebaliknya, proses pencerapan terhadap
objek-objek non-material sesungguhnya tidak akan terjadi, kecuali dengan adanya
pemahaman terhadapnya atau dengan jalan taklid.
Bagaimanapun
keadaannya, fakta bahwa yang terjadi adalah proses pencerapan, bukan refleksi,
sesungguhnya merupakan hal yang nyaris aksioma (sesuatu yang tidak perlu
dibuktikan lagi). Meskipun demikian, proses pencerapan terhadap objek-objek
yang bersifat material akan tampak lebih jelas dari pada objek-objek yang
bersifat maknawi. Masalah tersebut sebenarnya tidaklah mendasar karena bisa
ditangkap oleh indera setiap orang dan tidak ada perbedaan pemahaman diantara
mereka. Yang berbeda adalah pengungkapannya, yang kadang-kadang berbeda dengan
fakta yang sebenarnya, sebagaimana yang diungkapkan oleh para pemikir komunis
dengan istilah refleksi, dan
kadang-kadang sesuai dengan fakta yang sesungguhnya, sebagaimana yang telah diungkapkan
dengan istilah pencerapan atau penginderaan. Yang menjadi sumber
penyimpangan justru masalah informasi terdahulu (ma’lumat sabiqah) tentang fakta. Inilah yang menjadikan
penyimpangan kaum komunis semakin fatal. Ini pula yang menjadi poin utama dalam
pokok bahasan tentang akal, atau merupakan hal dasar dalam aktivitas berpikir.
Kesimpulan dari pokok bahasan tentang informasi terdahulu (ma’lumat sabiqah), adalah bahwa pencerapan saja tidak akan
mewujudkan pemikiran (fikr). Yang
terjadi hanyalah pencerapan saja, atau penginderaan terhadap fakta.
Penginderaan yang diulang-ulang sampai jutaan kali sekalipun, meski dilakukan
melalui berbagai jenis penginderaan, tetap akan merupakan penginderaan saja,
dan sama sekali tidak akan menghasilkan pemikiran. Agar terwujud pemikiran,
proses penginderaan harus disertai dengan adanya informasi terdahulu pada diri
manusia, yang akan digunakan untuk menafsirkan fakta yang diindera. Dengan
demikian baru akan terwujud pemikiran. Sebagai contoh, kita bisa menghadirkan
seseorang yang ada sekarang, siapa pun orangnya. Kita lantas memberikan
kepadanya sebuah buku berbahasa Assiriya, sementara ia tidak mempunyai
informasi apapun yang berkaitan dengan bahasa tersebut. Kita kemudian
membiarkannya mengindera buku tersebut, dengan cara melihat ataupun meraba.
Kita memberinya pula kesempatan untuk mengindera buku tersebut sampai sejuta
kali. Maka, ia pasti tetap tidak akan memahami satu katapun dari buku tersebut.
Baru setelah kita memberikan informasi kepadanya tentang bahasa tersebut, ia
akan mampu memikirkan dan memahaminya.
Tidak benar jika
dikatakan bahwa realitas tersebut hanya berkaitan dengan bahasa yang merupakan
buatan manusia, sehingga membutuhkan informasi tentang bahasa tersebut. Ini
karena yang menjadi pokok bahasan adalah aktivitas berpikir, sedang aktivitas
berpikir adalah aktivitas akal, apakah berupa aktivitas menilai sesuatu,
memahami makna (kata), atau memahami kebenaran (haqiqah, truth). Artinya, aktivitas berpikir adalah sama untuk
segala hal. Berpikir tentang suatu masalah sama saja dengan berpikir tentang
suatu opini. Memahami makna suatu kata sama dengan memahami makna suatu fakta.
Masing-masing membutuhkan aktivitas berpikir, karena pada kenyataannya
aktivitas tersebut sama dalam semua objek dan semua fakta.
Agar tidak menimbulkan
perdebatan mengenai bahasa dan fakta, marilah kita mengambil contoh sebuah
fakta secara langsung. Kita mengambil seorang anak kecil yang sudah mempunyai
kemampuan mengindera tetapi tidak memiliki informasi. Kita letakkan
dihadapannya sepotong emas, tembaga dan batu. Lalu kita membiarkannya
mengindera dan mencerap benda-benda tersebut. Maka dia tidak mungin bisa
memahaminya, meskipun penginderaannya dilakukan berulang-ulang dengan berbagai
macam panca inderanya. Akan tetapi, jika ia diberi informasi terdahulu tentang
ketiga benda tersebut, kemudian dia menginderanya, maka dia akan menggunakan
informasi itu hingga dia mampu memahami hakikat tiga benda tersebut. Andaikata
anak tersebut telah dewasa hingga berusia 20 tahun, sementara dia tidak
mempunyai informasi tentang apapun, maka keadaannya akan tetap seperti semula,
yaitu hanya bisa mengindera benda-benda tanpa bisa memahaminya, meskipun
otaknya telah mengalami perkembangan. Ini disebabkan, yang menjadikan dirinya
bisa memahami sesuatu bukanlah otak, melainkan informasi-informasi terdahulu
disertai dengan fakta-fakta yang diinderanya.
Bersambung…
Sumber Buku: Hakekat berpikir, Oleh
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Pustaka Thariqul Izzah, Cetakan V, Jumadil Akhir
1431 H / Juni 2010
0 Response to "DEFINISI AKAL YANG SAHIH BAG 2"
Post a Comment