DEFINISI AKAL YANG SAHIH BAG 2

Kenyataan diatas sangatlah jelas, sejelas cahaya matahari yang menimpa objek-objek material, yakni bahwa pencerapan atau penginderaanlah yang sebenarnya terjadi.

Sementara itu, dalam kaitannya dengan objek-objek yang bersifat maknawi atau spiritual (ruhani), maka sebenarnya terjadi juga penginderaan (pencerapan) terhadap objek-objek tersebut hingga dihasilkan aktivitas berpikir terhadapnya. Berkenaan dengan suatu masyarakat yang mundur, harus terjadi penginderaan hingga terjadi penginderaan hingga dapat diputuskan bahwa suatu masyarakat mengalami kemunduran. Realitas kemunduruan masyarakat jelas bersifat material. Berkenaan dengan hal-hal yang menodai kehormatan, harus ada penginderaan mengenai penodaan yang terjadi, atau penginderaan bahwa suatu benda atau tindakan telah menodai kehormatan. Dengan begitu, bisa diputuskan bahwa telah terjadi penodaan atau ada sesuatu yang tajam yang telah melukai atau menodai kehormatan. Ini adalah perkara yang bersifat maknawi. Demikian pula mengenai hal-hal yang bisa menimbulkan kemurkaan Allah, harus ada penginderaan terhadap [sebab] kemurkaan Allah yang terjadi, atau penginderaan terhadap tindakan atau sesuatu yang bisa menimbulkan kemurkaan Rabbul Izzati (Allah), yakni yang dapat menyulut api kebencian dan bara kemarahan bagi Adz-Dzat Al-‘Illiyah  (Allah). Ini adalah masalah yang bersifat spiritual (ruhani).

Tanpa ada proses penginderaan dalam semua hal diatas, jelas tidak akan terwujud aktivitas akal (‘amaliyah aqliyah). Proses penginderaan merupakan hal yang mesti ada agar terjadi aktivitas akal, baik untuk objek-objek material maupun objek-objek non material. Hanya saja, proses pencerapan terhadap objek-objek yang bersifat material akan terjadi secara alamiah, meskipun akan dapat berlangsung secara kuat atau lemah sesuai pemahaman seseorang terhadap karakter objek yang dicerapnya. Oleh karena itu, para pemikir menyatakan bahwa pencerapan yang muncul dari kesadaran atau pemikiran (al-ihsas al-fikri) adalah jenis pencerapan yang paling kuat. Sebaliknya, proses pencerapan terhadap objek-objek non-material sesungguhnya tidak akan terjadi, kecuali dengan adanya pemahaman terhadapnya atau dengan jalan taklid.

Bagaimanapun keadaannya, fakta bahwa yang terjadi adalah proses pencerapan, bukan refleksi, sesungguhnya merupakan hal yang nyaris aksioma (sesuatu yang tidak perlu dibuktikan lagi). Meskipun demikian, proses pencerapan terhadap objek-objek yang bersifat material akan tampak lebih jelas dari pada objek-objek yang bersifat maknawi. Masalah tersebut sebenarnya tidaklah mendasar karena bisa ditangkap oleh indera setiap orang dan tidak ada perbedaan pemahaman diantara mereka. Yang berbeda adalah pengungkapannya, yang kadang-kadang berbeda dengan fakta yang sebenarnya, sebagaimana yang diungkapkan oleh para pemikir komunis dengan istilah refleksi, dan kadang-kadang sesuai dengan fakta yang sesungguhnya, sebagaimana yang telah diungkapkan dengan istilah pencerapan atau penginderaan. Yang menjadi sumber penyimpangan justru masalah informasi terdahulu (ma’lumat sabiqah) tentang fakta. Inilah yang menjadikan penyimpangan kaum komunis semakin fatal. Ini pula yang menjadi poin utama dalam pokok bahasan tentang akal, atau merupakan hal dasar dalam aktivitas berpikir. Kesimpulan dari pokok bahasan tentang informasi terdahulu (ma’lumat sabiqah), adalah bahwa pencerapan saja tidak akan mewujudkan pemikiran (fikr). Yang terjadi hanyalah pencerapan saja, atau penginderaan terhadap fakta. Penginderaan yang diulang-ulang sampai jutaan kali sekalipun, meski dilakukan melalui berbagai jenis penginderaan, tetap akan merupakan penginderaan saja, dan sama sekali tidak akan menghasilkan pemikiran. Agar terwujud pemikiran, proses penginderaan harus disertai dengan adanya informasi terdahulu pada diri manusia, yang akan digunakan untuk menafsirkan fakta yang diindera. Dengan demikian baru akan terwujud pemikiran. Sebagai contoh, kita bisa menghadirkan seseorang yang ada sekarang, siapa pun orangnya. Kita lantas memberikan kepadanya sebuah buku berbahasa Assiriya, sementara ia tidak mempunyai informasi apapun yang berkaitan dengan bahasa tersebut. Kita kemudian membiarkannya mengindera buku tersebut, dengan cara melihat ataupun meraba. Kita memberinya pula kesempatan untuk mengindera buku tersebut sampai sejuta kali. Maka, ia pasti tetap tidak akan memahami satu katapun dari buku tersebut. Baru setelah kita memberikan informasi kepadanya tentang bahasa tersebut, ia akan mampu memikirkan dan memahaminya.

Tidak benar jika dikatakan bahwa realitas tersebut hanya berkaitan dengan bahasa yang merupakan buatan manusia, sehingga membutuhkan informasi tentang bahasa tersebut. Ini karena yang menjadi pokok bahasan adalah aktivitas berpikir, sedang aktivitas berpikir adalah aktivitas akal, apakah berupa aktivitas menilai sesuatu, memahami makna (kata), atau memahami kebenaran (haqiqah, truth). Artinya, aktivitas berpikir adalah sama untuk segala hal. Berpikir tentang suatu masalah sama saja dengan berpikir tentang suatu opini. Memahami makna suatu kata sama dengan memahami makna suatu fakta. Masing-masing membutuhkan aktivitas berpikir, karena pada kenyataannya aktivitas tersebut sama dalam semua objek dan semua fakta.

Agar tidak menimbulkan perdebatan mengenai bahasa dan fakta, marilah kita mengambil contoh sebuah fakta secara langsung. Kita mengambil seorang anak kecil yang sudah mempunyai kemampuan mengindera tetapi tidak memiliki informasi. Kita letakkan dihadapannya sepotong emas, tembaga dan batu. Lalu kita membiarkannya mengindera dan mencerap benda-benda tersebut. Maka dia tidak mungin bisa memahaminya, meskipun penginderaannya dilakukan berulang-ulang dengan berbagai macam panca inderanya. Akan tetapi, jika ia diberi informasi terdahulu tentang ketiga benda tersebut, kemudian dia menginderanya, maka dia akan menggunakan informasi itu hingga dia mampu memahami hakikat tiga benda tersebut. Andaikata anak tersebut telah dewasa hingga berusia 20 tahun, sementara dia tidak mempunyai informasi tentang apapun, maka keadaannya akan tetap seperti semula, yaitu hanya bisa mengindera benda-benda tanpa bisa memahaminya, meskipun otaknya telah mengalami perkembangan. Ini disebabkan, yang menjadikan dirinya bisa memahami sesuatu bukanlah otak, melainkan informasi-informasi terdahulu disertai dengan fakta-fakta yang diinderanya.
Bersambung…


Sumber Buku: Hakekat berpikir, Oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Pustaka Thariqul Izzah, Cetakan V, Jumadil Akhir 1431 H / Juni 2010

0 Response to "DEFINISI AKAL YANG SAHIH BAG 2"

Post a Comment