Mari kita ambil contoh
lain, seorang anak yang berusia empat tahun, yang sebelumnya tidak pernah
melihat atau mendengar tentang singa, juga tidak pernah melihat timbangan dan
mendengar tentangnya. Dia juga tidak pernah melihat atau mendengar tentang
anjing dan gajah. Jika kita menyodorkan keempat benda tersebut atau gambarnya
kepadanya lalu memintanya untuk mengenali namanya benda apakah itu maka dia
tidak akan mengetahui apa pun. Pada diri anak tersebut tidak mungkin terbentuk
aktivitas berpikir apa pun tentang keempat benda tersebut. Jika kita
menyuruhnya menghafal nama-nama benda itu dan kita tidak menghubungkannya
dengan nama-namanya, lalau kita hadirkan keempat benda itu kehadapannya dan
kita berkata, “Inilah nama-namanya.
Nama-nama yang telah engkau hafal adalah nama-nama benda ini,” maka anak
tersebut pasti tidak akan mengetahui nama masing-masing dari keempat benda
tersebut. Akan tetapi, jika menyebutkan nama-nama benda tersebut disertai fakta
atau gambarnya dihadapannya, seraya menghubungkan nama-nama tersebut dengan
faktanya hingga dia mampu menghafal nama masing-masing yang dihubungkan dengan
bendanya, maka ketika itu dia akan memahami keempat benda tersebut sesuai
dengan nama-namanya. Dengan kata lain, dia akan memahami benda apakah itu,
apakah singa atau timbangan, tanpa melakukan kesalahan. Jika kita berusaha
merancukan pemahamannya, dia pasti tidak akan menyetujui anda. Artinya, secara
konsisten bahwa dia akan menyatakan bahwa yang ini adalah singa seraya menunjuk
gambar singa, atau ini adalah timbangan seraya menunjuk gambar timbangan.
Demikian seterusnya. Jadi, pokok permasalahannya tidak berkaitan dengan fakta
ataupun pencerapan atas fakta tersebut, melainkan berkaitan dengan informasi
terddahulu tentang fakta tersebut, atau sejumlah informasi yang berhubungan
atau terkait dengan fakta tersebut sesuai dengan pengetahuan anak itu.
Dengan demikian,
informasi terdahulu tentang suatu fakta atau yang berkaitan dengan fakta,
adalah syarat mendasar dan utama demi terwujudnya aktivitas berpikir atau demi
terbentuknya akal.
Semuanya ini adalah
penjelasan aspek kesadaran rasional (al-idrak
al-aqli, rational comprehension), yaitu kesadaran yang muncul dari akal.
Adapun aspek kesadaran emosional (al-idrak
asy-syu’uri, emotional comprehension), yakni kesadaran yang muncul dari
perasaan, maka ia adalah kesadaran yang muncul dari naluri-naluri (al-ghara’iz, instincts) dan kebutuhan
fisik (al-hajat al-‘udhwiyah, organic
needs). Kesadaran emosional ini, sebagaimana terdapat pada hewan, juga
terdapat pada manusia. Jika kepada seseorang kita berikan apel dan batu secara
berulang-ulang, dia pasti akan mengetahui bahwa apel bisa dimakan sedangkan
batu tidak bisa dimakan. Keledai pun akan mengetahui bahwa gandum (barley) bisa dimakan sedangkan tanah
tidak. Namun demikian, kemampuan membedakan ini bukanlah pemikiran atau
kesadaran, melainkan berasal dari naluri dan kebutuhan fisik. Hal ini terdapat
pada hewan sebagaimana terdapat juga pada manusia. Dengan demikian, tidak
mungkin terwujud pemikiran, kecuali jika terdapat informasi-informasi terdahulu
disertai dengan proses transfer penginderaan fakta melalui panca indera kedalam
otak.
Apa yang menjadi
ketidakjelasan bagi banyak orang adalah, bahwa informasi terdahulu dianggap
bisa dihasilkan melalui proses percobaan (eksperimen) yang dilakukan sendiri
oleh seseorang, atau bisa diterima dari pihak lain. Menurut mereka,
percobaan—percobaan bisa mewujudkan informasi. Percobaan yang pertama itulah
yang akan mewujudkan aktivitas berpikir. Ketidakjelasan ini bisa dihilangkan
hanya dengan memperhatikan dua hal, yaitu: (1) perbadaan otak manusia dengan
otak hewan dilihat dari kemampuan masing-masing dalam mengaitkan fakta dengan
informasi, dan (2) perbedaan antara aspek yang berkaitan dengan naluri dan
kebutuhan fisik, dengan aspek yang berkaitan dengan penilaian atas berbagai
benda (asy-syai’, matter), benda
apakah itu.
Perbedaan otak manusia
dan otak hewan, ialah bahwa pada otak hewan tidak terdapat kemampuan mengaitkan
informasi. Yang ada hanyalah mengingat kembali penginderaan (istirja’ al-ihsas, recollection of the
sensation), terutama ketika penginderaan dilakukan secara berulang-ulang.
Kemampuan mengingat kembali ini yang dilakukan hewan secara alamiah, khusus
terdapat pada hal-hal yang berkaitan dengan naluri dan kebutuhan fisik. Tidak
berkaitan dengan perkara-perkara diluar dua hal ini. Jika anda memukul lonceng
dan memberi makan anjing ketika lonceng dipukul, maka bila dilakukakn
berulang-ulang anjing akan bisa mengerti bahwa jika lonceng dibunyikan, berarti
makanan akan segera datang, sehingga mengalirlah air liurnya. Begitu pula jika
keleddai jantan melihat keledai betina, hasrat seksualnya akan segera bangkit.
Akan tetapi, jika keledai jantan tersebut melihat anjing betina, hasrat seksualnya
tidak akan bangkit. Sapi yang sedang digembalakan juga akan menjauhi rerumputan
yang beracun atau yang membahayakannya.
Semua contoh tersebut
dan yang sejenisnya hanyalah merupakan pembedaan yang bersifat naluriah (at-tamyiz al-gharizi, instinctive
differentiation). Sedangkan apa yang sering disaksikan orang, bahwa
sebagian hewan yang telah dilatih mampu melakukan gerakan-gerakan atau aktivitas-aktivitas
tertentu yang tidak berkaitan dengan nalurinya, maka sebenarnya hewan itu
melakukannya semata didasarkan pada proses mencontoh dan meniru. Tidak
didasarkan pada pemikiran atau kesadaran. Ini karena pada otak hewan tidak
terdapat kemampuan untuk mengaitkan informasi. Yang ada pada hewan hanyalah
kemampuan mengingat kembali penginderaan dan kemampuan membedakan yang
semata-mata muncul dari naluri. Setiap hal yang berkaitan dengan nalurinya akan
diinderanya dan segala hal yang telah diinderanya akan mampu diingatnya
kembali, terutama jika penginderaan itu dilakukan secara berulang-ulang.
Artinya, apa saja yang berkaitan dengan naluri akan dilakukan oleh hewan secara
alamiah, baik melalui proses penginderaan atau melalui proses mengingat kembali
penginderaan tersebut. Sebaliknya, hal-hal yang berkaitan dengan naluri, tidak
mungkin dilakukannya secara alamiah jika ia menginderanya. Tapi jika hewan itu
mengulang-ulang penginderaannya dan mengingat kembali penginderaannya, ia akan
mampu melakukan sesuatu karena mencontoh dan meniru, bukan karena melakukannya
secara alamiah.
Bersambung…
Sumber Buku: Hakekat berpikir, Oleh
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Pustaka Thariqul Izzah, Cetakan V, Jumadil Akhir
1431 H / Juni 2010
0 Response to "DEFINISI AKAL YANG SAHIH BAG 3"
Post a Comment