DEFINISI AKAL YANG SAHIH BAG 3

Mari kita ambil contoh lain, seorang anak yang berusia empat tahun, yang sebelumnya tidak pernah melihat atau mendengar tentang singa, juga tidak pernah melihat timbangan dan mendengar tentangnya. Dia juga tidak pernah melihat atau mendengar tentang anjing dan gajah. Jika kita menyodorkan keempat benda tersebut atau gambarnya kepadanya lalu memintanya untuk mengenali namanya benda apakah itu maka dia tidak akan mengetahui apa pun. Pada diri anak tersebut tidak mungkin terbentuk aktivitas berpikir apa pun tentang keempat benda tersebut. Jika kita menyuruhnya menghafal nama-nama benda itu dan kita tidak menghubungkannya dengan nama-namanya, lalau kita hadirkan keempat benda itu kehadapannya dan kita berkata, “Inilah nama-namanya. Nama-nama yang telah engkau hafal adalah nama-nama benda ini,” maka anak tersebut pasti tidak akan mengetahui nama masing-masing dari keempat benda tersebut. Akan tetapi, jika menyebutkan nama-nama benda tersebut disertai fakta atau gambarnya dihadapannya, seraya menghubungkan nama-nama tersebut dengan faktanya hingga dia mampu menghafal nama masing-masing yang dihubungkan dengan bendanya, maka ketika itu dia akan memahami keempat benda tersebut sesuai dengan nama-namanya. Dengan kata lain, dia akan memahami benda apakah itu, apakah singa atau timbangan, tanpa melakukan kesalahan. Jika kita berusaha merancukan pemahamannya, dia pasti tidak akan menyetujui anda. Artinya, secara konsisten bahwa dia akan menyatakan bahwa yang ini adalah singa seraya menunjuk gambar singa, atau ini adalah timbangan seraya menunjuk gambar timbangan. Demikian seterusnya. Jadi, pokok permasalahannya tidak berkaitan dengan fakta ataupun pencerapan atas fakta tersebut, melainkan berkaitan dengan informasi terddahulu tentang fakta tersebut, atau sejumlah informasi yang berhubungan atau terkait dengan fakta tersebut sesuai dengan pengetahuan anak itu.

Dengan demikian, informasi terdahulu tentang suatu fakta atau yang berkaitan dengan fakta, adalah syarat mendasar dan utama demi terwujudnya aktivitas berpikir atau demi terbentuknya akal.

Semuanya ini adalah penjelasan aspek kesadaran rasional (al-idrak al-aqli, rational comprehension), yaitu kesadaran yang muncul dari akal. Adapun aspek kesadaran emosional (al-idrak asy-syu’uri, emotional comprehension), yakni kesadaran yang muncul dari perasaan, maka ia adalah kesadaran yang muncul dari naluri-naluri (al-ghara’iz, instincts) dan kebutuhan fisik (al-hajat al-‘udhwiyah, organic needs). Kesadaran emosional ini, sebagaimana terdapat pada hewan, juga terdapat pada manusia. Jika kepada seseorang kita berikan apel dan batu secara berulang-ulang, dia pasti akan mengetahui bahwa apel bisa dimakan sedangkan batu tidak bisa dimakan. Keledai pun akan mengetahui bahwa gandum (barley) bisa dimakan sedangkan tanah tidak. Namun demikian, kemampuan membedakan ini bukanlah pemikiran atau kesadaran, melainkan berasal dari naluri dan kebutuhan fisik. Hal ini terdapat pada hewan sebagaimana terdapat juga pada manusia. Dengan demikian, tidak mungkin terwujud pemikiran, kecuali jika terdapat informasi-informasi terdahulu disertai dengan proses transfer penginderaan fakta melalui panca indera kedalam otak.

Apa yang menjadi ketidakjelasan bagi banyak orang adalah, bahwa informasi terdahulu dianggap bisa dihasilkan melalui proses percobaan (eksperimen) yang dilakukan sendiri oleh seseorang, atau bisa diterima dari pihak lain. Menurut mereka, percobaan—percobaan bisa mewujudkan informasi. Percobaan yang pertama itulah yang akan mewujudkan aktivitas berpikir. Ketidakjelasan ini bisa dihilangkan hanya dengan memperhatikan dua hal, yaitu: (1) perbadaan otak manusia dengan otak hewan dilihat dari kemampuan masing-masing dalam mengaitkan fakta dengan informasi, dan (2) perbedaan antara aspek yang berkaitan dengan naluri dan kebutuhan fisik, dengan aspek yang berkaitan dengan penilaian atas berbagai benda (asy-syai’, matter), benda apakah itu.

Perbedaan otak manusia dan otak hewan, ialah bahwa pada otak hewan tidak terdapat kemampuan mengaitkan informasi. Yang ada hanyalah mengingat kembali penginderaan (istirja’ al-ihsas, recollection of the sensation), terutama ketika penginderaan dilakukan secara berulang-ulang. Kemampuan mengingat kembali ini yang dilakukan hewan secara alamiah, khusus terdapat pada hal-hal yang berkaitan dengan naluri dan kebutuhan fisik. Tidak berkaitan dengan perkara-perkara diluar dua hal ini. Jika anda memukul lonceng dan memberi makan anjing ketika lonceng dipukul, maka bila dilakukakn berulang-ulang anjing akan bisa mengerti bahwa jika lonceng dibunyikan, berarti makanan akan segera datang, sehingga mengalirlah air liurnya. Begitu pula jika keleddai jantan melihat keledai betina, hasrat seksualnya akan segera bangkit. Akan tetapi, jika keledai jantan tersebut melihat anjing betina, hasrat seksualnya tidak akan bangkit. Sapi yang sedang digembalakan juga akan menjauhi rerumputan yang beracun atau yang membahayakannya.

Semua contoh tersebut dan yang sejenisnya hanyalah merupakan pembedaan yang bersifat naluriah (at-tamyiz al-gharizi, instinctive differentiation). Sedangkan apa yang sering disaksikan orang, bahwa sebagian hewan yang telah dilatih mampu melakukan gerakan-gerakan atau aktivitas-aktivitas tertentu yang tidak berkaitan dengan nalurinya, maka sebenarnya hewan itu melakukannya semata didasarkan pada proses mencontoh dan meniru. Tidak didasarkan pada pemikiran atau kesadaran. Ini karena pada otak hewan tidak terdapat kemampuan untuk mengaitkan informasi. Yang ada pada hewan hanyalah kemampuan mengingat kembali penginderaan dan kemampuan membedakan yang semata-mata muncul dari naluri. Setiap hal yang berkaitan dengan nalurinya akan diinderanya dan segala hal yang telah diinderanya akan mampu diingatnya kembali, terutama jika penginderaan itu dilakukan secara berulang-ulang. Artinya, apa saja yang berkaitan dengan naluri akan dilakukan oleh hewan secara alamiah, baik melalui proses penginderaan atau melalui proses mengingat kembali penginderaan tersebut. Sebaliknya, hal-hal yang berkaitan dengan naluri, tidak mungkin dilakukannya secara alamiah jika ia menginderanya. Tapi jika hewan itu mengulang-ulang penginderaannya dan mengingat kembali penginderaannya, ia akan mampu melakukan sesuatu karena mencontoh dan meniru, bukan karena melakukannya secara alamiah.

Bersambung…


Sumber Buku: Hakekat berpikir, Oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Pustaka Thariqul Izzah, Cetakan V, Jumadil Akhir 1431 H / Juni 2010

0 Response to "DEFINISI AKAL YANG SAHIH BAG 3"

Post a Comment