Dua Pucuk Surat Pengakuan
Hubungan Nusantara dengan Timur Tengah yang menjadi tempat asal lahirnya
agama Islam sudah terasa sejak masa-masa awal berdirinya ke-Khilafahan Islam. Keberhasilan
umat Islam melakukan penaklukan (futuhat)
terhadap Kerajaan Persia pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra, serta
penguasaan atas sebagian besar wilayah Romawi Timur, sperti Mesir, Suriah, dan
Palestina, telah menempatkan ke-Khilafahan Islam menjadi negara super power dunia sejak abad ke 7 M. Apalagi
ketika kekuatan Islam berhasil menenggelamkan Kekaisaran Persia di masa
Khalifah Umar bin Khaththab ra sehingga tinggal sejarah. Perluasan wilayah Islam
pun semakin intensif dilakukan, seiring dengan perluasan pengaruh politik,
ekonomi, sosial, dan tentu saja ideologi (yaitu dakwah Islam) ke seluruh
pelosok dunia yang saat itu memungkinkan untuk dirambah. Ketika ke-Khilafahan
berada ditangan Bani Umayyah tahun (660-749 M), penguasa di Nusantara yang
masih beragama Hindu mengakui kebesaran Negara Khilafah.
Pengakuan terhadap kebesaran pengaruh Negara Khilafah ini dibuktikan dengan
adanya dua pucuk surat yang dikirimkan oleh Maharaja Sriwijaya waktu itu kepada
Khalifah yang hidup pada masa Bani Umayyah. Surat pertama dikirimkan kepada
Umar bin Abdul Aziz. Surat pertama ditemukan dalam sebuah diwan (arsip) Bani Umayyah oleh Abdul Malin bin Umair, yang
disampaikan kepada Abu Y’qub at-Tsaqafi, yang kemudian disampaikan kepada
al-Haitsam bin Adi. Al-Jahizh, yang mendengar surat itu dari al-Haitsam,
menceritakan pendahuluan surat itu sebagai berikut:
“Dari Raja al-hind, yang
kandang bintangya berisi seribu gajah, (dan) yang istananya terbuat dari emas
dan perak, yang dilayani putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar
yang mengairi pohon gaharu, kepada Muawiyah”
Surat kedua didokumentasikan oleh Abd Rabbih (246-329 H/ 860-940 M) dalam
karyanya yang berjudul al-‘Iqd al-Farid.
Potongan surat tersbut sebagai berikut:
“Dari Raja di raja..; yang
adalah keturunan seribu raja... kepada Raja Arab (Umar bin Abdul Aziz) yang
tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Aku telah mengirimkan kepada
Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tidak begitu banyak, tetapi
sekedar tanda persahabatan. Dan aku ingin Anda mengirimkan kepadaku seseorang
yang dapat mengajarkan Islam kepadaku, dan menjelaskan kepadaku hukum-hukumnya.”
Ibnu Tighribirdi yang juga mengutip surat ini dalam karyanya, an-Nujum az-Zhahirah fi Muluk Mishr wa
al-Qahirah, memberikan kalimat tambahan pad akhir surat ini yakni:
“Aku mengirimkan hadiah kepada
Anda berupa wewangian, sawo, kemenyan dan kapur barus. Terimalah hadiah itu,
karena aku adalah saudara Anda dalam Islam”
Namun demikian, sekalipun ada kalimat “saudara
Anda dalam Islam”, belum ada indikasi Maharaja Sriwijaya memeluk Islam,
Maharaja yang berkuasa pada masa itu ialah Sri Indravarman, yang di sebut
sumber China sebagai Shih-li-t’o-pa-mo.
Nama ini mengisyaratkan bahwa ia belum menjadi pemeluk Islam. Azyumardi Azra
menyebutkan bahwa dua tahun kemudian (tahun 720 M), Raja Sri Indravarman yang
semula beragama Hindu, kemudian memeluk Islam. Kerajaan Sriwijaya Jambi pun
lalu di kenal dengan sebutan Sribuza Islam. Akan tetapi, pada tahun 730 M, Raja
Sriwijaya Jambi ditawan oleh Kerajaan Sriwijaya palembang yang menganut agama
Budha.
Diperkirakan, hubungan diplomatik antara kedua pemimpin wilayah ini (Sriwijaya
Jambi) berlangsung pada tahun 100 H atau 718 M. Korespondensi antara Kerajaan Sriwijaya
dengan Negara Khilafah ini menandai adanya hubungan Nusantara dengan Islam. Jika
pada awalnya, Islam masuk dan memainkan peranan penting yang terkait dengan aspek
ekonomi dan perdagangan, maka kini telah berkembang menjadi hubungan politik
dengan keagamaan. Dan pada kurun waktu ini pula Islam mengawali kiprahnya
memasuki kehidupan raja-raja dan kekuasaan yang ada di wilayah Nusantara.
Pada awal abad ke 12 M, Sriwijaya mengalami masalah serius yang berakibat
pada kemunduran kerajaan. Kemunduran Sriwijaya ini pula yang berpengaruh pada
perkembangan Islam di Nusantara. Kemerosotan ekonomi ini membuat Srwijaya
menaikkan upeti kepada kapal-kapal asing yang memasuki wilayahnya. Dan hal ini
tentu saja mengubah arus perdagangan yang telah berperan dalam penyebaran Islam
di kawasan itu.
Selain Sabaj ata Sribuza atau juga Sriwijaya di sebut-sebut telah dirambah
oleh dakwah Islam, daerah-daerah lain di Pulau Sumatera seperti Aceh, dan
Minangkabau ada tambo, yang mengisahkan tentang alam Minangkabau yang tercipta
dari Nur Muhammad. Ini adalah salah satu jejak Islam yang berakar sejak Islam
masuk pertama kalinya ke Nusantara.
Di saat-saat itulah, Islam telah memainkan peran penting di ujung Pulau
Sumatera. Kerajaan Samudera Pasai menjadi kerajaan Islam pertama yang di kenal
dalam sejarah. Namun ada pendapat lain dari Prof. Ali Hasjmy, dalam makalahnya
yang disampaikan pada Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh,
yang di gelar pada tahun 1978. Menurut Ali Hasjmy, kerajaan Islam pertama
adalah kerajaan Perlak.
Apapun perdebatannya, yang pasti, pada periode ini Islam telah memegang
peranan yang signifikan dalam kancah Politik di Nusantara. Pada periode ini pula
hubungan antara wilayah Aceh dengan ke-Khilafahan Islam di Timur Tengah kian
erat.
Dakwah Melalui Da’i
Selain oleh para pedagang, Islam juga didakwahkan oleh para Ulama yang
memang berniat datang atau di tugaskan untuk mengajarkan ajaran Tauhid. Tidak saja
para ulama dan pedagang yang datang ke Nusantara, tetapi orang-orang Nusantara
sendiri banyak pula yang mendalami Islam dan datang langsung ke sumbernya,
terutama di Makkah atau Madinah. Kapal-kapal dan ekspedisi dari Aceh, terus
berlayar menuju Timur Tengah pada awal
abad ke 16 M. Bahkan pada tahun 1974 H atau 1566 M, di laporkan ada 5 kapal dari Kesultanan Asyi
(Aceh) yang berlabuh di bandar pelabuhan Jeddah.
Ukhuwah yang terjalin erat antara Aceh dan ke-Khilafahan Islam itu pula yang
membuat Aceh mendapat sebutan Serambi Makkah. Puncak hubungan baik antara Aceh
dan pemerintahan Islam terjadi pada masa ke-Khilafahan turki Utsmani, tidak
saja dalam hubungan dagang dan keagamaan, tapi juga hubungan politik dan
militer telah dibangun pada masa ini. Hubungan ini pula yang membuat angkatan
perang Khilafah Utsmani turut membantu mengusir Portugis dari pantai Pasai yang
dikuasai sejak tahun 1521 M. Bahkan, pada tahun-tahun sebelumnya, Portugis juga
sempat di gemparkan dengan kabar Pemerintahan Utsmani akan mengirim angkatan
perangnya untuk membebaskan Kerajaan Islam Malaka dari cengkeraman Penjajah
Portugis. Pemerintahan Utsmani juga pernah membantu mengusir Parangi (Portugis)
dari perairan yang di lalui Muslim Aceh yang hendak menunaikan ibadah haji ke
tanah suci.
Selain di pulau Sumatera, dakwah Islam juga dilakukan dalam waktu bersamaan
di Pulau Jawa. Prof. Hamka dalam bukunya “Sejarah Umat Islam” mengungkapkan,
pada tahun 674-675 M, duta dari orang-orang
Ta Shih (Arab) untuk China, yang tak lain adalah sahabat Rasulullah saw sendiri,
yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan, diam-diam meneruskan perjalanan hingga ke Pulau
Jawa. Muaiwiyah yang juga pendiri ke-Khilafahan Islam Bani Umayyah ini menyamar
sebagai pedagang dan menyelidiki kondisitanah Jawa kala itu. Ekspedisi ini
mendatangi , dan Kerajaan Kalingga dan melakukan pengamatan. Maka bisa
dikatakan bahwa Islam telah merambah tanah Jawa pada awal abad perhitungan
Hijriyah.
Jika demikian, tidak heran apabila tanah Jawa menjadi kekuatan Islam yang
cukup besarpada masa-masa berikutnya, dengan Kesultanan Giri, Demak, Pajang,
Mataram,bahkan hingga Banten dan Cirebon. Proses dakwah yang panjang, yang
salah satunya dilakukan oleh Wali Songo atau Sembilan Wali adalah rangkaian
kerja yang dimulai sejak kegiatan observasi yang pernah dilakukan oleh sahabat
Rasulullah saw, yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan.
Peranan Wali Songo dalam perjalanan kerajaan-kerajaan Islam di jawa tidak
bisa dipisahkan. Jika boleh disebut, merekalah yang menyiapkan pondasi-pondasi
yang kuat, dimana akan dibangun pemerintahan Islam yang berbentuk Kesultanan. Kesultanan
Islam di tanah Jawa yang paling terkenal adalah Kesultanan Demak. Namun,
keberadaan kesultanan Giri juga tidak bisa di lepaskan dari sejarah kekuaasaan
Islam di tanah Jawa.
Sebelum Demak berdiri, Raden Paku yang berjuluk Sunan Giri atau yang nama
aslinya Maulana Ainul Yaqin, telah membangun wilayah tersendiri di daerah Giri,
Gresik, Jawa Timur. Wilayah ini di bangun menjadi sebuah kekuasaan agama dan
juga pusat pengkaderan dakwah. Dari wilayah Giri ini dihasilkan
pendakwah-pendakwah yang telah dikirim ke kawasan Nusa Tenggara dan wilayah
Timur Indonesia lainnya.
Giri berkembang dan menjadi pusat keagamaan di wilayah Jawa Timur. Buya
Hamka menyebutkan, sedemikian besarnya pengaruh kekuatan agama yang dihasilkan
Giri, majapahit yang kala itu menguasai Jawa tidak punya kuasa untuk menghapus
kekuasaan Giri. Dalam perjalanannya, setelah melemahnya majapahit, berdirilah
Kesultanan Demak. Lalu bersambung Pajang, kemudian jatuh ke Mataram.
Meski kekuatan politik Islam baru tumbuh, Giri tetap memainkan peranannya
tersendiri. Sampai ketika Mataram dianggap sudah tidak lagi menjalankan
ajaran-ajaran Islam pada masa Pemerintahan Sultan Agung, Giri akhirnya harus
mengambil sikap. Giri mendukung kekuatan Bupati Surabaya untuk melakukan pemberontakan
pada Mataram.
Meski akhirnya kekuatan Islam melemah saat kedatangaan dan mengguritanya kekuasaan
penjajah Belanda, Kesultanan dan tokoh-tokoh Islam tanah jawa memberikan sumbangsih
yang besar pada perjuangan. Ajaran Islam, yang terkenal dengan ajaran dan
semngat Jihadnya telah menorehkan tinta Emas dalam perjuangan melawan penjajah.
Tidak hanya di Jawa dan Sumatera, tapi di seluruh wilayah Nusantara.
Tamat
Sumber Buku: Khilafah & Jejak Islam Kesultanan Islam Nusantara, Pustaka
Thariqul Izzah, Cetakan II, Rabi’ats-Tsani 1436 H/ Februari 2015
0 Response to "AWAL MULA KEDATANGAN ISLAM KE NUSANTARA BAG. 2"
Post a Comment