FAKTA KEMUNDURAN UMAT ISLAM BAG. 2

Memang benar, karena hal-hal itulah, maka negara menjadi tidak berguna. Mengapa? Karena ketika ijtihad dan dinamika pemikiran terhenti, maka pemahaman keislaman di kalangan kaum Muslim pun melemah. Mereka meninggalkan pengetahuan keislaman dan buku. Khazanah intelektual pun dibiarkan membeku tersimpan digudang-gudang. Tidak ada lagi  ulama yang siap berpikir, kecuali amat sedikit. Semangat dan cinta pengkajian dan penelitian tentang berbagai hakikat sangat sedikit. Ilmu-ilmu pengetahuan berubah menjadi sekedar ilmu yang yang tidak dituntut untuk diamalkan dalam negara dan kancah kehidupan. Negara tidak menggerakkannya. Bahkan, para ulama yang menuntut ilmu dan tsaqofah hanya menjadikannya sebagai kekayaan intelektual. Mereka berpendapat bahwa mencari ilmu untuk mencari rezeki. Sangat sedikit dari mereka yang mencari ilmu untuk kemaslahatan umat dan negara.

Keadaan ini juga menciptakan ketidaksiapan gerakan intelektual, tsaqofah atau perundang-undangan dalam menghadapi problem kehidupan. Akibatnya, pemahaman keislaman menjadi goncang. Kaum Muslim memahami Islam dengan porsi pemahaman spiritualnya lebih banyak dari pada pemahaman pemikiran, politik, dan perundang-undangan. Karena pemikirannya yang mendasar dan cara pelaksanaannya sudah buta. Mereka menjadi buta dalam memahami Kitabullah dan Sunnah Rasul. Mereka memahami Islam sebatas sebagai agama spiritual. Umat jika membandingkan antara islam dan agama-agama lain, fokus perbandingannya sebatas masalah keistimewaan aspek spiritual keagamaan semata. Pandangan ini menggantikan pandangan mereka semula yang memandang Islam sebagai akidah dan sistem untuk seluruh persoalan kehidupan.

Karena itu, tidak heran  jika umat Islam di bawah kendali negara ‘Utsmani mengalami stagnasi, beku, kebingungan, dan goncang ketika menghadapi gerakan revolusioner yang terjadi di Eropa. Umat juga masih tetap terbelakang dan tidak tergugah sedikitpun oleh kemajuan ekonomi yang membanjiri Eropa, tidak terpengaruh oleh banyaknya penemuan yang terjadi di Eropa, dan tidak tergelitik dengan gerakan industri yang di pelopori Eropa. Memang ada pengaruh sedikit dan sangat parsial. Itupun masih diliputi kebimbangan dan kekacauan sehingga tidak menghasilkan kebaikan apapun.

Hal itu tidak memungkinkan umat Islam meraih kemajuan materi, bahkan tidak memungkinkan mereka menghentikan roda kejumudan. Umat justru semakin terpuruk dalam kemunduran dan kelemahan. Faktor penyebabnya juga kembali pada kondisi mereka yang tidak mampu membedakan antara sains dan tsaqofah, antara hadharah (peradaban) dan madaniah (bentuk materi). Akhirnya mereka tetap berdiri dalam kebingungan dan tidak bisa mengambil keputusan, apakah mengambil atau meninggalkannya. Banyak diantara mereka yang melihat, bahwa semuanya itu bertentangan dengan Islam. Karena itu, mereka menyatakan haram untuk mengambilnya. Bahkan ketika percetakan (mesin-mesin cetak) menjadi fenomena baru dan negara ‘Utsmani bermaksud mencetak al-Qur’an, para ulama fiqih malah mengharamkan pencetakan al-Qur’an. Akibatnya, mereka memberi fatwa yang mengharamkan setiap hal yang baru dan mengkafirkan setiap orang yang belajar ilmu-ilmu eksakta. Setiap pimikir dituduk zindik dan atheis. Namun, pada sisi lain ada sekelompok kecil umat yang melihat keharusan mengambil segala hal yang berasal dari Barat, baik yang menyangkut sains, tsaqofah, hadharah maupun madaniah. Mereka ini adalah orang-orang yang belajar di Eropa atauu di sekolah-sekolah misionaris yang telah menyusup ke negara ‘Utsmani.

Pada mulanya mereka tidak memiliki pengaruh. Mayoritas bersikap moderat dan berusaha menyesuaikan Islam dengan tsaqofah, sains, hadharah, dan madaniah yang dibawah Barat. Di masa-masa akhir pemerintahan negara ‘Utsmani, ada satu pemikiran yang mempelopori gerakan, bahwa Barat telah mengambil peradaban dari Islam dan karena itu, Islam tidak mencegah gerakan yang mengambil apapun yang sesuai dengan Islam dan menjalankan apa saja yang tidak bertentangan dengannya. Barat rupanya berhasil menyebarkan pemikiran ini hingga mendominasi masyarakat islam dan membawanya ke tengah massyarakat. Apalagi para pelajar dan diantara mereka yang terpengaruh banyak dari kalangan ulama fiqih, ilmuwa Muslim, dan orang-orang yang menamakan diri sebagai ulama kontemporer. Mereka disebut sebagai kaum Pembaharu (Mujaddid).

Menilik pertentangan yang nyata antara peradaban Barat dan Islam, dan karena adanya perbedaan yang jelas antara Tsaqofah Barat dan kandungan maknayang berkaitan dengan visi kehidupan dengan Tsaqofah Islam dan kandungan makna yang berkaitan dengan jalan hidupnya, maka tidak mungkin menyelelaraskan atau mengkompromikan antara apa yang terdapat dalam islam dan apa yang terdapat dalam pikiran-pikiran Barat. Membiarkan dikompromikannya dua hal yang bertentangan itu akan mengantarkan umat jauh dari Islam dan mendekatkan mereka pada pemikiran-pemikiran Barat dengan bentuk atau pola yang kacau. Mereka menjadi lemah dalam memahami pemikiran-pemikiran Barat dan menjadi semakin jauh dari Islam dan mendekatkkan mereka kepada pemikiran-pemikiran Barat dengan bentuk atau pola yang kacau. Mereka menjadi lemah dalam memahami pemikiran-pemikiran Barat dan menjadi semakin jauh dari Islam.

Hal itu memiliki dampak negatif yang sangat besar terhadap pengembalian sikap kenegaraan negara ‘Utsmani, dan perilaku umat. Negara menjadi menyia-nyiakan berbagai penemuan, sains dan industri. Pemahaman umat tentang Islam semakin buruk. Kondisi ini pada gilirannya akan mengubah umat menjadi kumpulan manusia yang memiliki pemikiran yang saling bertentangan dan menjadikan negara tidak mampu memastikan pilihan terhadap suatu pemikiran yang pasti dan khas. Umat menjadi berpaling dan tidak mau mengambil sarana-sarana kemajuan materi yang berbentuk sains, penemuan, dan industri. Akibatnya, negara benar-benar menjadi lemah hingga tidak mampu berdiri dan menjaga dirinya sendiri. Kelemahan ini memunculkan keberanian musuh-musuh Islam untuk mengkerat-kerat negara Islam menjadi potongan-potongan negara kecil, sementara negara tidak berdaya mengelaknya, dan justru menerimanya dengan pasrah. Kelemahan ini juga menimbulkan keberanian para misionaris untuk melancarkan perang terhadap Islam atas nama sains. Mereka menyusupkan misinya ke dalam tubuh umat hingga berhasil memecah belah barisan mereka dan membakar api fitnah di dalam tubuh negara Islam.

Gerakan-gerakan yang beraneka ragam ini akhirnya berhasil merobohkan negara dan disusul dengan munculnya paham kesukuan dan kebangsaan didalam tubuh seluruh bagian negara, baik di Balkan, Turki, Arab, Armenia, maupun Kurdistan. Puncaknya pada tahun 1914 M, negara Ustamani berada di tepian jurang yang dalam, kemudian terperosok ke dalam Perang Dunia I dan keluar darinya sebagai pihak yang kalah, dan akhirnya negara Islam hilang dai permukaan dunia dan Barat berhasil mewujudkan impiannya yang mengusik mereka selama berabad-abad. Barat berhasil mengadili negar Islam yang notabene menjadi jalan untuk menghancurkan Islam. Dengan lenyapnya negar Islam, maka pemerintahan di seluruh negar Islam tidak menjadi negara Islam. Kaum Muslim menjadi masyarakat yang hidup di bawah bendera yang buka Islam. Urusan mereka menjadi tercabik-cabik. Keadaan mereka memburuk, dan akhirnya hidup dalam sistem kufur dan menerapkan hukum-hukum kufur.

Itulah kondisi kaum Muslim pada abad XII H/ 18 M, serentetan peristiwa demi peristiwa yang mereka alami. Meski harus diakui rentetan ini tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan mata rantai dari berbagai peristiwa yang terjadi sebelumnya.

*****


Tamat
Sumber Buku: Mafahim Islamiyyah, Al Azhar Freshzone Publishing, Cetakan I, Dzulhijjah 1435 H/ Oktober 2014 M.

0 Response to "FAKTA KEMUNDURAN UMAT ISLAM BAG. 2"

Post a Comment