Memang benar, karena hal-hal
itulah, maka negara menjadi tidak berguna. Mengapa? Karena ketika ijtihad dan dinamika
pemikiran terhenti, maka pemahaman keislaman di kalangan kaum Muslim pun
melemah. Mereka meninggalkan pengetahuan keislaman dan buku. Khazanah
intelektual pun dibiarkan membeku tersimpan digudang-gudang. Tidak ada
lagi ulama yang siap berpikir, kecuali
amat sedikit. Semangat dan cinta pengkajian dan penelitian tentang berbagai
hakikat sangat sedikit. Ilmu-ilmu pengetahuan berubah menjadi sekedar ilmu yang
yang tidak dituntut untuk diamalkan dalam negara dan kancah kehidupan. Negara
tidak menggerakkannya. Bahkan, para ulama yang menuntut ilmu dan tsaqofah hanya
menjadikannya sebagai kekayaan intelektual. Mereka berpendapat bahwa mencari
ilmu untuk mencari rezeki. Sangat sedikit dari mereka yang mencari ilmu untuk
kemaslahatan umat dan negara.
Keadaan ini juga menciptakan
ketidaksiapan gerakan intelektual, tsaqofah atau perundang-undangan dalam
menghadapi problem kehidupan. Akibatnya, pemahaman keislaman menjadi goncang.
Kaum Muslim memahami Islam dengan porsi pemahaman spiritualnya lebih banyak
dari pada pemahaman pemikiran, politik, dan perundang-undangan. Karena
pemikirannya yang mendasar dan cara pelaksanaannya sudah buta. Mereka menjadi
buta dalam memahami Kitabullah dan Sunnah Rasul. Mereka memahami Islam sebatas
sebagai agama spiritual. Umat jika membandingkan antara islam dan agama-agama
lain, fokus perbandingannya sebatas masalah keistimewaan aspek spiritual
keagamaan semata. Pandangan ini menggantikan pandangan mereka semula yang
memandang Islam sebagai akidah dan sistem untuk seluruh persoalan kehidupan.
Karena itu, tidak heran jika umat Islam di bawah kendali negara
‘Utsmani mengalami stagnasi, beku, kebingungan, dan goncang ketika menghadapi
gerakan revolusioner yang terjadi di Eropa. Umat juga masih tetap terbelakang
dan tidak tergugah sedikitpun oleh kemajuan ekonomi yang membanjiri Eropa,
tidak terpengaruh oleh banyaknya penemuan yang terjadi di Eropa, dan tidak
tergelitik dengan gerakan industri yang di pelopori Eropa. Memang ada pengaruh
sedikit dan sangat parsial. Itupun masih diliputi kebimbangan dan kekacauan
sehingga tidak menghasilkan kebaikan apapun.
Hal itu tidak memungkinkan umat
Islam meraih kemajuan materi, bahkan tidak memungkinkan mereka menghentikan
roda kejumudan. Umat justru semakin terpuruk dalam kemunduran dan kelemahan.
Faktor penyebabnya juga kembali pada kondisi mereka yang tidak mampu membedakan
antara sains dan tsaqofah, antara hadharah (peradaban) dan madaniah (bentuk
materi). Akhirnya mereka tetap berdiri dalam kebingungan dan tidak bisa
mengambil keputusan, apakah mengambil atau meninggalkannya. Banyak diantara
mereka yang melihat, bahwa semuanya itu bertentangan dengan Islam. Karena itu,
mereka menyatakan haram untuk mengambilnya. Bahkan ketika percetakan
(mesin-mesin cetak) menjadi fenomena baru dan negara ‘Utsmani bermaksud
mencetak al-Qur’an, para ulama fiqih malah mengharamkan pencetakan al-Qur’an.
Akibatnya, mereka memberi fatwa yang mengharamkan setiap hal yang baru dan
mengkafirkan setiap orang yang belajar ilmu-ilmu eksakta. Setiap pimikir
dituduk zindik dan atheis. Namun, pada sisi lain ada sekelompok kecil umat yang
melihat keharusan mengambil segala hal yang berasal dari Barat, baik yang
menyangkut sains, tsaqofah, hadharah maupun madaniah. Mereka ini adalah
orang-orang yang belajar di Eropa atauu di sekolah-sekolah misionaris yang
telah menyusup ke negara ‘Utsmani.
Pada mulanya mereka tidak
memiliki pengaruh. Mayoritas bersikap moderat dan berusaha menyesuaikan Islam
dengan tsaqofah, sains, hadharah, dan madaniah yang dibawah Barat. Di masa-masa
akhir pemerintahan negara ‘Utsmani, ada satu pemikiran yang mempelopori
gerakan, bahwa Barat telah mengambil peradaban dari Islam dan karena itu, Islam
tidak mencegah gerakan yang mengambil apapun yang sesuai dengan Islam dan
menjalankan apa saja yang tidak bertentangan dengannya. Barat rupanya berhasil
menyebarkan pemikiran ini hingga mendominasi masyarakat islam dan membawanya ke
tengah massyarakat. Apalagi para pelajar dan diantara mereka yang terpengaruh
banyak dari kalangan ulama fiqih, ilmuwa Muslim, dan orang-orang yang menamakan
diri sebagai ulama kontemporer. Mereka disebut sebagai kaum Pembaharu
(Mujaddid).
Menilik pertentangan yang nyata
antara peradaban Barat dan Islam, dan karena adanya perbedaan yang jelas antara
Tsaqofah Barat dan kandungan maknayang berkaitan dengan visi kehidupan dengan
Tsaqofah Islam dan kandungan makna yang berkaitan dengan jalan hidupnya, maka
tidak mungkin menyelelaraskan atau mengkompromikan antara apa yang terdapat
dalam islam dan apa yang terdapat dalam pikiran-pikiran Barat. Membiarkan
dikompromikannya dua hal yang bertentangan itu akan mengantarkan umat jauh dari
Islam dan mendekatkan mereka pada pemikiran-pemikiran Barat dengan bentuk atau
pola yang kacau. Mereka menjadi lemah dalam memahami pemikiran-pemikiran Barat
dan menjadi semakin jauh dari Islam dan mendekatkkan mereka kepada
pemikiran-pemikiran Barat dengan bentuk atau pola yang kacau. Mereka menjadi
lemah dalam memahami pemikiran-pemikiran Barat dan menjadi semakin jauh dari
Islam.
Hal itu memiliki dampak negatif
yang sangat besar terhadap pengembalian sikap kenegaraan negara ‘Utsmani, dan
perilaku umat. Negara menjadi menyia-nyiakan berbagai penemuan, sains dan
industri. Pemahaman umat tentang Islam semakin buruk. Kondisi ini pada gilirannya
akan mengubah umat menjadi kumpulan manusia yang memiliki pemikiran yang saling
bertentangan dan menjadikan negara tidak mampu memastikan pilihan terhadap
suatu pemikiran yang pasti dan khas. Umat menjadi berpaling dan tidak mau
mengambil sarana-sarana kemajuan materi yang berbentuk sains, penemuan, dan
industri. Akibatnya, negara benar-benar menjadi lemah hingga tidak mampu
berdiri dan menjaga dirinya sendiri. Kelemahan ini memunculkan keberanian
musuh-musuh Islam untuk mengkerat-kerat negara Islam menjadi potongan-potongan
negara kecil, sementara negara tidak berdaya mengelaknya, dan justru
menerimanya dengan pasrah. Kelemahan ini juga menimbulkan keberanian para
misionaris untuk melancarkan perang terhadap Islam atas nama sains. Mereka
menyusupkan misinya ke dalam tubuh umat hingga berhasil memecah belah barisan
mereka dan membakar api fitnah di dalam tubuh negara Islam.
Gerakan-gerakan yang beraneka
ragam ini akhirnya berhasil merobohkan negara dan disusul dengan munculnya
paham kesukuan dan kebangsaan didalam tubuh seluruh bagian negara, baik di
Balkan, Turki, Arab, Armenia, maupun Kurdistan. Puncaknya pada tahun 1914 M,
negara Ustamani berada di tepian jurang yang dalam, kemudian terperosok ke
dalam Perang Dunia I dan keluar darinya sebagai pihak yang kalah, dan akhirnya
negara Islam hilang dai permukaan dunia dan Barat berhasil mewujudkan impiannya
yang mengusik mereka selama berabad-abad. Barat berhasil mengadili negar Islam
yang notabene menjadi jalan untuk menghancurkan Islam. Dengan lenyapnya negar
Islam, maka pemerintahan di seluruh negar Islam tidak menjadi negara Islam.
Kaum Muslim menjadi masyarakat yang hidup di bawah bendera yang buka Islam.
Urusan mereka menjadi tercabik-cabik. Keadaan mereka memburuk, dan akhirnya
hidup dalam sistem kufur dan menerapkan hukum-hukum kufur.
Itulah kondisi kaum Muslim pada abad XII H/ 18 M, serentetan peristiwa demi
peristiwa yang mereka alami. Meski harus diakui rentetan ini tidak berdiri
sendiri, tetapi merupakan mata rantai dari berbagai peristiwa yang terjadi
sebelumnya.
*****
Sumber Buku: Mafahim Islamiyyah, Al Azhar Freshzone Publishing, Cetakan I,
Dzulhijjah 1435 H/ Oktober 2014 M.
0 Response to "FAKTA KEMUNDURAN UMAT ISLAM BAG. 2"
Post a Comment