Shalat merupakan salah satu dari
Rukun Islam. Shalat diwajibkan atas setiap Muslim yang berakal dan baligh (baik
laki-laki ataupun perempuan). Adapun anak kecil yang belum baligh , maka
menurut syariat dia tidak dikenakan beban hukum apapun. Walaupun begitu,
terkait dengan shalat, maka pihak yang mengurus anak tersebut diminta uuntuk
memerintahkannya melaksanakan shalat, dan tidak ada kewajiban apapun atas pihak
yang mengurus anak kecil itu selain memerintahkannya melaksanakan shalat saja
hingga anak kecil tersebut berumur sepuluh tahun. Ketika telah berumur sepuluh
tahun, maka pihak yang mengurusnya diminta untuk memukul sang anak jika dia
belum menaati perintah dan belum shalat. Hal ini menunjukkan betapa penting dan
tingginya kedudukan shalat bagi kaum Muslim. Dari Amr bin Syu’aib, dari
ayahnya, dari kakeknya, Abdullah bin Amar ra, ia berkata: Rasulullah saw
bersabda:
“Perintahkanlah
pada anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat disaat mereka berumur tujuh
tahun, dan pukullah mereka karena (meninggalkan) shalat ketika mereka berumur
sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur diantara mereka”. (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan al-Hakim)
Dari Sabrah, ia berkata: Rasulullah
saw bersabda:
“Ajarilah anak kalian melaksanakan shalat di saat berumur tujuh tahun, dan
pukullah dia karena ( meninggalkan) shalat disaat berumur sepuluh tahun”. (HR. Tirmidzi)
Ahmad meriwayatkan hadits serupa
dengan redaksi sedikit berbeda. Dengan dimikian, anak kecil yang berumur tujuh
tahun menurut syariat harus diperintahkan ntuk melaksanakan shalat, dan dipukul
karena meninggalkan shalat disaat usianya mencapai sepuluh tahun, walaupun
menurut syariat, anak keciil belum dikenai beban kewajiban, karena baligh
merupakan salah satu syarat pembebaban hukum (at-taklif). Memerintahkan dan memukul anak itu tiada lain untuk
membiasakan anak kecil dan melatihnya melaksanakan shalat, dan bukan sebagai taklif (pembebanan hukum) pada anak
kecil untuk melaksanakan shalat. Dari Aisyah ra, dari nabi saw beliau bersabda:
“Pena itu diangkat dari tiga orang: dari orang yang tidur hingga dia
bangun, dari anak kecil hingga dia bermimpi(baligh), dan dari orang gila hingga
dia berakal”. (HR. Ahmad,
Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan an-Nasai)
Orang yang meninggalkan shalat dapat
dikategorikan apakah meninggalkannya karena sikap malas dan menganggapnya
sebagai perkara sepele, atau meninggalkannya karena mengingkari kewajiban dan
membangkang terhadap perintah shalat. Jika meninggalkannya karena sikap malas
dan menganggapnya sebagai perkara sepele maka orang tersebut dipandang sebagai
orang yang fasik yang bermaksiat. Perbuatannya
itu akan dikenai sanksi ta’zir,
berupa hukuman yang dipandang oleh penguasa atau qadli bisa berfungsi efektif sebagai zawajir (pencegah). Namun, jika dia meninggalkan shalat karena
mengingkari kewajiban shalat itu sendiri, maka dia dipandang sebagai orang
kafir atau murtad dari agama Allah Swt. Orang ini akan di beri waktu tiga hari
untuk bertaubat, jika bertaubat (maka taubatnya akan diterima), dan jika tidak
maka dia akan dibunuh. Dari Ubadah bin Shamit ra, ia berkata:
“Lima kali shalat yang telah diwajibkan Allah atas hamba-hamba-Nya,
barangsiapa yang menemui-Nya membawa (amalan) shalat ini dalam keadaan tidak menghilangkan
sesuatupun darinya maka baginya dari sisi Allah ada janji untuk memasukkannya
kedalam surga, dan barang siapa yang menemui-Nya dalam keadaan telah mengurangi
sesuatu darinya karena menganggap enteng sebagian hak-haknya maka baginya tidak
ada janji dari Allah Swt, jika menghendaki, Dia Swt akan menyiksanya, dan jika
menghendaki, Dia Swt akan mengampuninya”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Abu Dawud meriwayatkan hadits ini
dengan redaksi:
“Lima kali shalat telah diwajibkan oleh Alah Swt, barang siapa yang
membaguskannya wudlunya dan melaksanakan shalat pada waktunya serta
menyempurnakan ruku dan khusyu’nya maka baginya ada janji dari Allah Swt untuk mengampuninya, dan
barangsiapa tidak melakukan (hal itu)maka baginya tidak ada janji dari Allah
Swt, jika menghendaki, Dia Swt akan mengampuninya, dan jika menghendaki, Dia
Swt akan menyiksanya”.
Seandainya perbuatan meninggalkan
shalat dipandang sebagai kekufuran, sebagaimana yang dikatakan oleh sejumlah
imam, maka Rasulullah saw tidak akan mengatakan: “Jika menghendaki, Dia Swt akan mengampuninya”. Bagi orang yang
meninggalkan shalat, karena mengurangi sebagiannya. Hal ini ditunjukkan dalam
teks hadits pertama, atau karena tidak melakukannya, sebagaimana yang bisa
dipahami dari teks hadits yang kedua, dimana mengurangi itu adalah meninggalkan
sebagian darinya atau tidak melakukan dengan meninggalkan shalat seluruhnya. Keduanya
tetap berada dalam rahmat Allah Swt dan dibawah kehendak-Nya untuk di beri
ampunan. Dan kita telah mengetahui bahaw Allah Awt tidak akan mengampuni orang
kafir dan orang musyrik, serta tidak akan mengampuni orang yang murtad dari
agamanya. Ini merupakan persoalan yang pasti diketahui dalam perkara agama (ma’lum min ad-din bi ad-dlarurah). Didlam
al-Qur’an terdapat petunjuk mengenai hal itu, dimana Allah Swt telah berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang
siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang
besar.” (TQS. An-Nisa[4]:
48)
Allah Swt berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang kafir dan (yang) menghalangi manusia dari jalan
Allah, kemudian mereka mati dalam keadaan kafir, maka sekali-kali Allah tidak
akan memberi ampun kepada mereka”. (TQS. Muhammad[47]: 34)
Allah Swt berfirman:
“Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam
kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat,
dan mereka itulah penghuni nereka. Mereka kekal di dalamnya.” (TQS. al-Baqarah[2]: 217)
Maka kita bisa memahami bahwa orang
yang meninggalkan shalat, baik secara sebagiannya ataupun seluruhnya, itu
bukanlah orang kafir, bukan pula orang musyrik, dan bukan pula orang murtad. Dia
tetap dipandang sebagai seorang Muslim yang fasikda n bermaksiat saja.
Mungkin sebagian orang menyatakan
bahwa teks hadits yang pertama, yaitu intiqash
(mengurangi), itu tidak menunjukkan pada meninggalkan sebagian shalat. Hadits ini
semata-mata hanya menunjukkan pada adanya kekurangan dalam shalatnya, dala hal khusyu’, qunut, dan tuma’ninah. Dan
teks kedua tidak menunjukkan pad meninggalkan shalat secara keseluruhan, dimana
kalimat “dan barangsiapa yang tidak melakukan” ini dipalingkan pada pengertian tidak adanya
perbuatan membaguskan wudlu dan salat tidak pada waktunya, dan tidak
menyempurnakan ruku’ dan khusyu’.
Maka perlu kami katakan, bahwa perlu kami katakan, bahwa kami memiliki teks
yang jelas dan tegas, yang tidak memiliki pengertian lain selain meninggalkan
shalat secara keseluruhan. Inilah haditsnya: dari Ubadah bin Shamit ra, ia
berkata: aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
“lima kali shalat yang telah diwajibkan oleh Allah ‘Azza wa jalla pada para
hamba. Barangsiapa yang membawanya tanpa menghilangkan sesuatu darinya karena
menganggap remeh hak-haknya maka baginya da janji dari Allah Swt untuk
memasukkannya kedalam surga. Dan barangsiapa yang tidak membawanya maka tidak
akan ada janji dari Allah untuknya. Jika berkehendak, Dia Swt akan menyiksanya,
dan jika berkehendak, Dia Swt akan memasukkannya ke dalam surga”. (HR. Malik, Abu Dawud, an-Nasai dan Baihaqi)
Ahmad meriwayatkan hadits ini dengan
redaksi:
“...jika berkehendak, Dia akan menyiksanya, dan jika berkehendak, Dia Swt akan mengampuninya”.
Dalam pembahasan ini saya perlu
memuat beberapa hadits shahih yang terlupakan pleh banyak ahli fikih, dan saya
tidak mengatakan semua ahli fikih, dimana dalam memahami dilalahnya mereka saling bertentangan, sehingga mereka tidak sampai
pada pemahaman yang sesuai dan benar. Diantara hadits-hadits tersebut adalah
sebagai berikut:
a.
Dari Abu Bakar, dari ayahnya Abu Musa al-Asy’ari,
bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang shalat pada dua ujung (hari) akan
masuk surga” (HR. Muslim, Bukhari,
Malik dan Abdullah bin Ahmad)
Al-bardani (dua ujung0 adalah du
shalat, yakni shalat fajar dan shalat ashar.
b.
Dari Abu bakar bin Umarah bin Ru-aibah ra dari
ayahnya, dia berkata: aku mendengar Rasulullah sawa bersabda:
“Api neraka tidak akan menyentuh sesorang yang
melaksanakan shalat sebelum terbit dan sebelum terbenam matahari, yakni shalat
fajar dan sahalat ashar”. (HR.
Muslim, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Ahmad, dan an-Nasai)
c.
Dari Fudhalah ra ia berkata: Rasulullah saw telah
mengajariku, dan salah satu yang diajarkannya kepadaku:
“Dan jagalah shalat yang lima. Dia berkata: ‘Sesungguhnya
saat-saat tersebut adalah saat-saat yang penuh kesibukan padaku, maka
perintahkanlah kepadaku satu perkara yang bisa meliputi semua, sehingga jika
aku melakukannya maka hal itu bisa mencukupiku’. Maka beliausaw berkata:’Peliharalah
dua shalat ashar’. Apa arti shalat ashar menurut bahasa kita, maka aku
bertanya: ‘Apa yang dimaksud dengan dua ashar ini’. Beliau saw berkata; ‘Shalat
sebelum terbit matahari dan shalat sebelum terbenam matahari”. (HR. Abuu Dawud dan Ahmad)
Maka perlu saya katakan: bukankah dengan membatasi pada
dua shalat fajar dan ashar ini bisa dipandang bahwa orang tersebut telah
meninggalkan shalat sebagian dari shalat yang lima, dan walaupun begitu dia
tetap Muslim?
Terkait dengan hadits-hadits spserti yang diriwayatkan
Buraidah ra, ia berkata: aku mendengar Rasulullah bersabda:
“Perjanjian yag ada
diantara kami dan mereka adalah shalat. Barangsiapa yang meningggalkannya maka
dia telah kafir”. (HR. Ahmad, Ibnu
Majah, an-Nasai dan Tirmidzi)
Dan hadits yang diriwayatkan dari jabir bin Abdullah: aku
mendengar Rasulullah saw bersabda:
“(Batas) antara
seseorang dengan syirik dan kekufuran itu adalah meninggalkan shalat”. (HR. Muslim, Ahmad, Tirmidzi)
Maka ini bisa dipahami sebagai besarnya ancaman bagi
orang yang meninggalkan shalat. Hadits ini seperti hadits yang diriwayatkan
dari Abdullah bn Mas’ud ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
“mencaci seorang Muslim itu
merupakan suatiu kefasikan, dan membunuhnya merupakan sesuatu kekufuran”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Juga hadits seperti yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Dua perkara yang jika
ada pada manusia maka dia telah kafir: mencela garis keturunan dan meratapi
orang mati”. (HR. Muslim dan Ahmad)
Dan seperti hadits yang diriwayatkan dari Abu dzar
ra,bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Tidaklah seseorang yang
mengaku keturunan dari orang selain bapaknya padahal dia mengetahuinya kecuali
dia telah ingkar”. (HR. Bukhari dan
Muslim)
Hadits yang diriwayatkan dari jabir, bahwa Nabi saw
bersabda:
“Barangsiapa yang diberi
sesuatu dan dia memiliki sesuatu yang lain maka hendaklah mebalasnya, dan jika
tidak mendapati sesuatu (untuk membalasnya) maka hendaklah dia memujinya,
karena seseungguhnya orang yang memuji itu sungguh telah bersyukur, dan
barangsiapa yang menyembunyikan maka sungguh dia telah kafir,...”. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi)
Tirmidzi berkata “makna ucapan beliau –barangsiapa yang menyembunyikan maka sungguh
dia telah kafir- artinya: mengkufuri
(mengingkari) nikamt tersebut”.
Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, bahwa
Rasulullah saw bersabda:
“...Dan perlihatkanlah
neraka padaku, dimana aku belum pernah meilhat pemandangan paling mengerikan
seperti hari itu. Aku melihat sebagian besar penghuninya adalah kaum wanita. Mereka
bertanya: mengapa wahai Rasululah? Beliau saw berkata: Karena kekufuran mereka.
Ditanyakan: Apakah mereka kufur kepada Allah? Beliau saw bersabda: Mereka
mengingkari keluarga dan mengingkari kebaikannya...”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Jadi, membunuh seorang Muslim, mencela nasab, meratapi
mayat, mengakui keturunan seseorang yang bukan ayahnya, menyembunikan
pemberian, dan ingkarnya seorang wanit terhadap pemberian dan kebaikan
suaminya, semua itu tidak diragukan lagi merupakan kemaksiatan saja, bukan
perbuatan yang bisa mengeluarkan dari agama, sehingga penetapan kufur ddalam
teks-teks tersebut tiada lain hanya menunjukkan besarnya ancaman atas
perbuatan-perbuatan tersebut. Lafadz kufur telah digunakan disini dengan makna
bahasanya saja, yaitu menghalangi dan menutupi, sehingga dikatakan kafara as-syai-a idza satarahu wa ghatthaahu
(mengkufuri sesuatu jika di menghalangi dan menutupinya), dikatakan pula kafara az-zaari’ al-badzra bit turab idza
ghatthaahu (seorang petani disebut mengkufuri benih dengan tanah jika dia
menutupinya), dimana lafadz kufur dengan pengetian bahasa ini terdapat juga
dalam al-Qur’an. Allah Swt berfirman:
“Dan Allah telah
berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan
amal-amal saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa
dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka
berkuasa. Dan sungguh Dia akan menguhkanbagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar ( keadaan) mereka
sesudah mereka dalam ketakutan menjadi
aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mepersekutukan
sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji)
itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. (TQS.an-Nur [24]: 55)
Lafadz wa man
kafara telah ditafsirkan oleh para mufasir sebagai kufur nikmat.
Allah Swt berfirman:
“Maka mengapakah mereka
beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” (TQS. an-Nahl [16]: 72)
Telah ditafsirkan oleh ayat sebelumnya:
“...Maka mengappa mereka
mengingkari nikmat Allah?”. (TQS. an-Nahl [16]: 71)
Dengan demikian, kufur itu ditetapkan untuk perbuatan
keluar dari agama, dan bisa juga ditetapkan untuk perbuatan-perbuatan yang
diharamkan yang tidak mengeluarkan seseorang dari agama. Adanya qarinah (indikasi)-lah yang bisa
menentukan mana dari dua pengertian tersebut
yang dimaksud, dimana nash-nash yang telah menyebutkan meningglkan
shalat itu sebuah kekufuran. Ada juga
qarinah yang bisa membawanya kepada pengertian bahasa saja, dan ini telah
kami sebutkan diatas, sehingga dengan tidak adanya qarinah tersebut maka tidak bisa menganggap bahwa perbuatan
meningglkan shalat sebagai perbuatan keluar dari agama. Dan siapa yang
beranggapan bahwa meninggalkan shalat itu merupakan tindak kekufuran (perbuatan
keluar dari agama) maka pendapat teresebut jelas keliru dan salah.
Sumber Buku: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an dan Hadits, Pustaka
Thariqul Izzah, Cetakan III, Muharram 1434 H/ Desember 2012.
0 Response to "HUKUM SHALAT FARDHU"
Post a Comment