Dari Zaman Barter Sampai
Munculnya Mata Uang
Allah Swt menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya penciptaan. Bukan hanya
aspek fisik (tubuh) nya saja, tetapi juga ditiupkan ruh (nyawa) sehingga
manusia pun hidup.
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OÈqø)s? ÇÍÈ
Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (TQS. At-Tiin
[95]: 4)
Tidak hanya itu, Allah Swt ciptakan juga dalam diri manusia
kebutuhan-kebutuhan fisiknya, yang mau tidak mau harus dipenuhi. Kebutuhan
fisik, seperti dicirikan dengan adanya rasa lapar, rasa haus, rasa kantuk dan
lelah, dan sejenisnya, semua itu pasti ada pada diri manusia, siapa pun itu dan
pada zaman apa pun dia hidup.
Kebutuhan-kebutuhan fisik ini sudah ada sejak Adam as diciptakan Allah Swt,
hingga manusia terakhir yang hidup di dunia ini kelak. Kebutuhan-kebutuhan
fisik ini juga tidak mengenal batas usia mamupun jenis kelamin, apalagi suku
maupun kebangsaan, kaya atau pun miskin, penguasa yang kejam ataupun penguasa
yang adil, orang yang tak berpendidikan maupun yang berpendidikan, kafir atau
pun mukmin munafik atau pun takwa. Semua orang pasti lapar jika tak makan
selama sehari semalam, atau merasa kantuk jika tidak memejamkan mata dan
beristirahat dalam sehari semalam. Ini adalah perkara yang harus diterima oleh
manusia sebagai wujud dari penciiptaan Allah Swt atas dirinya.
Selain adanya berbagai kebutuhan fisik, manusia juga memiliki naluri
(Instink). Naluri mempertahankan diri misalnya, yang ada pada manusia,
mempunyai banyak cabang yang dicirikan antara lain pada keinginan manusia untuk
memiliki sesuatu (seperti ingin mempunyai barang mewah, rumah bagus, kendaraan,
kebun yang luas, usaha/bisnis yang menguntungkan, dan lain-lain), atau
keinginan manusia untuk memperoleh jabatan dan posisi tertentu didalam
kehidupannya, termasuk adanya rasa takut atau khawatir (takut diserang oleh
musuh, takut terkena bencana, takut didepak dari kedudukannya, takut para
pendukungnya berkurang, takut popularitasnya menurun, dan lain-lain). Ada juga
naluri yang terkait dengan jenisnya sebagai mansuai yang ingin melestarikan
diri, yang dicirikan dalam berbagai penampakan, seperti adanya rasa tertarik
dengan lawan jenis, atau munculnya rasa keibuan pada diri seorang wanita, atau
rasa kebapakkan, rasa sebagai sesama saudara kandung atau pun satu keluarga
besar yang mempunyai hubungan pertalian darah, rasa sayang dari yang besar
kepada yang kecil, rasa hormat dari yang kecil kepada yang besar. Semua itu
merupakan penampakan atas naluri manusia yang ingin melestarikan jenisnya
sebagai manusia. Dan masih banyak lagi berbagai ciri maupun penampakan terhadap
jenis naluri lainnya yang ada pada diri manusia.
Baik menyangkut kebutuhan-kebutuhan fisik maupun berbagai naluri tadi,
keduanya merupakan unsur-unsur dasar yang mendorong manusia untuk melakukan
berbagai aktivitasnya. Seandainya manusia tidak memiliki kebutuhan-kebutuhan
fisik dan berbagai naluri tersebut, tentu dunia ini akan stagnan, tidak ada
dinamika, tidak ada persaingan, tidak akan ada rencana dan evaluasi, tidak akan
ada istilah gagal dan berhasil, menang dan kalah. Mungkin kita tidak akan
mengetahui siapa yang ulet, tekun, disiplin, sabar, berani, cermat, cekatan,
pintar, dengan siapa yang malas, sembrono, tidak pedulii, penakut, selalu
terlambat, bodoh. Bahkan kita tidak akan tahu siapa yang imannya memang
benar-benar sejati, atau hanya sekedar iman di bibirnya saja.
Oleh karena itu, kehidupan manusia pasti dan selalu diwarnai oleh berbagai
usaha yang dilakukannya dalam rangka memnuhi berbagai jenis kebutuhan fisik
maupun berbagai jenis nalurinya tadi. Dari sinilah sering munculnya interaksi
antar manusia satu dengan lainnya. Apa yang dibutuhkan mungkin ada pada orang
lain, sehingga dia akan berusaha mendatangi dan berinterkasi dengannya. Jika
rasa lapar seseorang muncul, hal itu akan mendorongnya untuk mencari makanan.
Dia bersedia menukar makananyang diperlukannya itu dengan barang lain yang
dimilikinya, dan kebetulan juga sedang di perlukan oleh si pemilik makanan.
Kalaupun dia tidak memiliki barang yang digunakan untuk memperoleh makanan
tadi, ia mungkin bersedia untuk mengeluarkan tenaga atau jasa yang dimilikinya
yang kebetulan sedang di perlukan oleh si pemilik makanan.
Begitulah semakin banyak jenis kebutuhan fisik dan naluri yang ingin
dipenuhinya, maka semakin jelas pula ketergantungan manusia terhadap manusia
lainnya. Hal ini mendorong manusia untuk saling bertukar hasil-hasil produksi
atau pun jasa yang dimilikinya masing-masing. Terjadilah aktivitas ekoonomi
yang sederhana yang berlandaskan pada sistem barter. Barter merupakan jenis
pertuakaran barang dengan barang, atau barang dengan jasa, atau jasa dengan
jasa secara langsung tanpa menggunakan perantaraan uang.
Orang yang memiliki beras misalnya, sementara dia memerlukan gula merah,
maka dia akan pergi mencari dan menemui pencari nira yang akan dibuat sebagai
gula merah. Apabila si pencari nira secara kebetulan sedang membutuhkan beras
maka dia bisa segera menukarkannya dengan besaran timbangan atau takaran yang
sesuai dengan kesepakatan mereka berdua. Contoh lainnya, seorang nelayan yang
mendapatkan ikan di laut dan sedang membutuhkan kain untuk dibuat sebagai baju,
maka ia akan pergi mencari pembuat kain, yang bisa ditukarkan dengan ikannya.
Karena sedmikian banyaknya orang yang membutuhkan berbagai jenis barang
maupun jasa, muncul tempat untuk memudahkan mereka yang sedang membutuhkan
barang atau jasa bertemu satu dengan lainnya, yang kemudian dinamakan sebagai
pasar. Disitulah mereka saling
menukarkan barang dengan barang, atau barang dengan jasa.
Meski kelihatannya tampak mudah, namun sistem barter memiliki banyak
hambatan. Misalnya saja, petani yang mempunyai beras dan sedang membutuhkan
gula merah, mungkin menemukan petani pencari nira yang memiliki gula merah,
akan tetapi si pemilik gula merah saat itu sedang tidak memerlukan beras. Ini
hambatan pertama. Hambatan berikutnya mungkin timbul ketika menentukan nilai
dan ukuran masing-masing barang. Si petani beras mungkin hanya membutuhkan
segenggam guula merah, namun dia tidak bisa mematok nilai segenggam gula merah
terhadap banyaknya beras yang dimilikinya yang akan ditukarkannya. Dalam hal
ini dia harus rela pada proses tawar menawar dengan si pemilik gula merah yang
tidak terlalu memerlukan beras. Mungkin dia dalam kondisi seperti ini harus
rela melepaskan sepuluh genggam beras miliknya untuk ditukarkan dengan
segenggam gula merah yang dibutuhkannya. Kondisi yang lebih parah tetapi pada
faktanya memang ada didalam sistem barter adalah jika barang-barang yang
dibarter itu tidak dapat dibagi-bagi, padahal yang diperlukannya hanya sedikit.
Misalnya saja peternak kambing yang sedang membutuhkan segantang minyak kelapa
untuk keperluan keluarganya. Sedangkan pemilik kelapa bersedia menukarkannya dengan
kambing, tetapi dia tidak memerlukan seekor kambing, melainkan hanya beberapa
potong daging kambing saja kambing, entah itu dua pasang daging paha kambing,
atau beberapa tulang kambing. Tentu saja pemilik kambing merasa keberatan jika
seekor kambingnya disembelih lalu dipotong-potong dan memberikan dua potong
paha kambingnya hanya untuk ditukarkan dengan segantang minyak kelapa, karena
sisa daging kambing yang disembelihnya masih banyak.
Seiring dengan perkembangan zaman dan perkembangan interaksi barter barang
dengan barang atau barter barang dengan jasa yang semakin intens, manusia lalu
menggunakan barang komoditas tertentu yang dijadikan sebagai media atau alat
didalam pertukaran maupun pembayaran. Pada mulanya, media atau alat tukar ini
berupa barang-barang atau komoditas yang sering kali dibutuhkan oleh manusia
sehari-hari, entah itu gandum, beras, hewan ternak, garam, dan sejenisnya. Bendanya
berbeda-beda tergantung dengan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat setampat. Suku-suku
di Afrika terbiasa menggunakan sapi atau kambing sebagai media pertukaran. Di Yunani,
masyarakatnya lebih menggunakan kerbau. Penduduk Tibet menggunakan teh-teh ikat.
Masyarakat Virginia di AS menggunakan tembakau ikat. Orang-orang Indian
menggunakan gula atau wol. Penduduk Ethiopia menggunakan garam. Semua barang-barang
tersebut, bagi masyarakat setempat, berfungsi seperti ‘Uang’, karena lebih
banyak diterima sebagai media pertukaran dibandingkan dengan membawa
benda-benda lainnya yang tidak terlalu dibutuhkan oleh manusia.
Meski begitu, dalam sistem barter tetap saja terdapat kesulitan dalam hal
mencari keinginan yang sesuai antara orang-orang yang saling bertransaksi. Belum
lagi adanya perbedaan jenis barang dan jasa yang akan ditukarkan, malahan
sebagian jenis barang tidak dapat dibagi-bagi. Dan yang penting adalah tidak
adanya standarisasi terhadap nilai-nilai barang atau jasa yang akan ditukarkan.
Misalnya, seekor sapi Bali jantan jika disetarakan dengan beras, nilainya sama
dengan berapa karung? Lebih sulit lagi jika sebaliknya, nilai sekarung beras
kualitas baguus setara dengan beberapa potong daging sapi Bali?
Disinilah keperluan manusia kepada alat tukar yang bisa diterima oleh semua
orang sekaligus bersifat fleksibel. Dan begitulah mucnulnya uang untuk pertama
kali, yang berfungsi sebagai alat tukar sekaligus tolok ukur (standar) yang
dapt mengukur nilai barang maupun jasa. Keberadaan dan manfaat mata uang pernah
disinggung oleh al-Ghazali didalam kitabnya Ihnya ‘Ulumuddin:
Termasuk nikmat Allah Swt adalah diciptakannya dinar dan
dirham (sebagai mata uang Islam-pen). Dengan keduanya kehidupan menjadi menjadi lurus. Keduanya hanyalah dua
jenis barang tambang yang tidak ada manfaat pada bendanya, akan tetapi makhluk
memerlukannya tatkala ,manusia memerlukan banyak benda yang terkait dengan
makanan, pakaian dan seluruh kebutuhannya. Kadang kala seseorang tidak
mempunyai aa yang dibutuhkannya dan memiliki barang yang tidak diperlukannya. Seperti
orang yang mempunyai za’faran misalnya sementara dia memerlukan unta sebagai
hewan tunggangannya. Dan ada orang yang mempunyai unta dan sedang tidak
memerlukan tunggangan, akan tetapi memerlukan za’faran, maka terjadilah
petukaran diantara keduanya. Mau tidak mau diperlukan ukuran untuk mengukur
pertukaran, karena pemilik unta tidak menyerahkan untanya dengan seluruh ukuran
za’faran dan tidak pada kesesuaian antara za’faran dengan unta. Sehingga dia
bisa menyerahkan misalnya dalam ukuran timbangan dan bentuk. Tidak diketahui berapa
banyak za’faran yang bisa menyamai seekor unta, sehingga transaksi mengalami
hambatan. Barang-barang yang beragam dan berbeda ini membutuhkan penengah, yang
bertindak sebagai pemutus yang adil sehingga segala sesuatu dapat diketahui
tingkatan dan nilainya. Karena itu, Allah Swt ciptakan dinar dan dirham sebagai
hakim penengah diantara seluruh harta, sehingga dengan keduanya seluruh harta
dapat diukur.
Kiranya tidak perlu diceritakan lagi seberapa penting keberadaan mata uang
bagi kehidupan manusia, terutama manusia modern. Seluruh barang dan jasa,
setiap proses produksi maupun distribusi selalu menggunakan mata uang. Bahkan banyak
manusia yang menjadi budak uang.
Mata Uang Berbagai Bangsa Kuno
Logam pertama yang dijadikan sebagai alat tukar pembayaran sudah ada pada
masa Yunani kuno, sekitar 4000 tahun lalu. Saat itu, barang yang terbuat dari
perak telah digunakan didalam transaksi perdangangan, meski belum berbentuk
cetakan atau koin. Bangsa Yunani kuno baru mencetak koin emas dan perak, selain
itu cetakan yang terbuat dari perunggu, sekitar tahun 406 SM. Dalam perkembangannya,
teknik cetakan pada mata uang mereka berkembang, yang ditandai dengan munculnya
koin-koin bergambar atau berukir. Mata uang bangsa Yunani adalah drachma,
yang terbuat dari perak.
Meski begitu, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa yang pertamakali
mencetak uang logam secara sistematis adalah bangsa Lydia, ketika kekuasaan
berada ditangan Croesus (570-546 SM). Namun ada juga sejarawan, seperti Will
Durant, yang mengatakan bahwa jauh sebelumnya bangsa Indian sudah mengenal mata
uang cetakan koin, terutama pada masa Mohingo-Daro (tahun 2900 SM). Ini berarti
manusia sudah mengenal mata uang koin jauh dari yang diduga oleh banyak orang.
Bangsa Persia mendapatkan teknologi pencetakan uang dari bangsa Lydia yang
ditaklukkanya padda tahun 546 SM. Mulanya mereka mencetak uang beerbentuk segi
empat, lalu kemudia merubah menjadi bundar. Rasio bahan-bahan pembuatan mata
uang Persia terdiri dari emas dan perak adalah 1:13,5. Namun, yang terkenal
dari Persia dan tersebar luas di kawasan tersebut justru mata uang perkanya,
yang terkenal karena kadar kemurniannya yang 100% Perak.
Koin yang terbuat dari campuran tembaga sudah dikenal di negeri China. Sayangnya
tidak ada catatan sejarah yang bisa memastikan kapan campuran tembaga telah
digunakan sebagai mata uang di China. Koin yang terbuat dari lempengan perak
sudah dikenal pada dinasti Hang (206 SM-220M). Berabad-abad kemudian, China
dikenal dengan mata uang yang berbasis perak, sehingga sempat dijadikan standar
pada saat lahirnya negara Republik Rakyat China (1914 M), yang mem-pegkan nilai
1 yuan setara dengan 7 mace perak murni.
Sebelum abad ke 3 SM. Bangsa Romawi sudah menggunakan mata uang yang
terbuat dari perunggu, yang dinamakan dengan aes. Tembaga jug menjadi
bahan lain dalam pembuatan mata uang mereka. Yang pertama kali mencetak mata
uang jeeis ini adalah Numa atau Servius Tullius, yang dicetak pada tahun 269
SM. Sedangkan mata uang mereka yang terbuat dari emas dicetak pada tahun 268
SM, yang dinamakan dengan denarius.
0 Response to "MATA UANG LOGAM, DARI MASA KE MASA"
Post a Comment